JAKARTA, govnews-idn.com – Dalam sejarah politik Indonesia, belum pernah muncul gelombang kemarahan yang demikian luas di kalangan elit intelektual dan para tokoh-tokoh bangsa yang diekspresikan. Saat ini kita tidak dapat merusak ruang publik dengan kebencian dan kemarahan, harus dibalik menjadi diskusi akademik yang produktif dan bersikap menerima.
Itu disampaikan Prof. Dr. H. Jimly Asshidiqie, S.H., M.H. pada diskusi “Etika, Hukum dan Masa Depan Demokrasi Politik: Evaluasi dan Refleksi Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilpres 2024” yang diselenggarakan oleh Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) bekerjasama dengan Yayasan Persada Hati dan Maha Indonesia, Selasa (30/4/2024).
“Etik sangat beririsan dengan peradaban, sehingga etika dijadikan sebagai bahan acuan. Jika dikaitkan dengan Pilpres, maka muncullah pertanyaan apakah kita sebagai masyarakat dapat memanfaatkan momentum,”? kata Jimly.
Jimly menjelaskan mengenai perubahan UU melalui perkara pengujian dinyatakan sah dan harus dijadikan rujukan dalam penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan jadwal pendaftaran. Tetapi proses pengambilan keputusan di antara 9 hakim konstitusi, dinyatakan bermasalah oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Karena itu, Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim Konstitusi yang menurut UU kekuasaan kehakiman maupun kode etik hakim konstitusi harus mundur dari penanganan perkara yang tetap melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan, diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua.
“Yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik MK, yang menurut tuntutan banyak pihak harus berakibat terhadap pembatalan putusan MK sebelumnya yang mengubah ketentuan mengenai syarat usia minimum calon presiden, atau berakibat tidak sahnya pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden,” ujar Jimly.
Dilandasi Oleh Kebencian”
Hal ini menurutnya yang memunculkan narasi yang dilandasi oleh kebencian dan kemarahan, yaitu julukan kepada MK sebagai Mahkamah Keluarga, dan bahkan “Mahkamah Kentut” yang dinilai tidak mampu menemukan orang yang “kentut” di tengah bau menyengat karena adanya orang yang “kentut”.
“Etika atau adab adalah kunci bagi kemajuan tingkat peradaban bangsa di masa depan. Adab atau keadaban kemanusiaan harus dipahami beririsan dengan prinsip keadilan dan bahkan ketuhanan dalam kehidupan umat manusia. Ketiganya, yaitu ketuhanan, keadilan dan keadaban merupakan Trisila kunci menentukan ketinggian kualitas peradaban umat manusia di sepanjang sejarah” jelas Jimly.
Jimly menekankan pentingnya menyamakan persepsi mengenai etika mana yang benar dan salah. “Saat ini sedang terjadi gelombang democratic regression di seluruh dunia, tidak hanya terjadi di Indonesia dan harus dilihat sebagai trend kemunduran demokrasi di seluruh dunia. Khususnya di Indonesia, budaya politik kita saat ini adalah kerajaan hanya namanya saja republik. Lain hal dengan Austalia yang bentuk pemerintahannya monarki tetapi bertindak seperti republik,” tuturnya.
“Oligarki dan totalitarianisme baru, menjelaskan bahwa Sembilan naga yang berusaha menguasai seluruh sektor. Setelah menguasai media, berusaha menguasai gerakan civil society, setelah itu baru akan membuat partai setelah menguasai suara masyarakat. Sehingga etika berbangsa dan bernegara perlu diperbaiki dan di tata, karena ini merupakan gejala baru yang terjadi di dunia termasuk Indonesia,” Pungkasnya.
UP – Endot Brilliantono
Prof. Dr. H. Jimly Asshidiqie bersama Rektor Universitas Paramadina Didik J.Rachbini (kanan) dan Pipi A. Riva’i Hasan (kiri). Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-ina.com