Govnews-idn.com – Beberapa hari ini, saya mendapat cercaan dan hujatan bertubi-tubi dari banyak teman pejuang tambang yang selama ini sejak lama berdedikasi dan berjuang untuk melawan perusahaan tambang yang bejat. Yang sudah merusak lingkungan, menyingkirkan masyarakat setempat, merusak perikatan sosial masyarakat, menumpuk kekayaan besar bagi elit pemilik tambang yang selama ini berkongkalikong dengan para elit politik penguasa, merusak masa depan bangsa dan negara.
Pasalnya karena satu hal, pernyataan saya sebagaimana dimuat di media: pakar-endus-penolak-izin-tambang-ke-ormas-keagamaan-antek-konglomerat. Dalam pernyataan tersebut, saya memang mengafirmasi penerimaan pemberian izin tambang oleh NU dan Muhamadiyah. Lalu masih dalam pernyataan itu, diinterpretasikan juga sekaligus sebagai membuat inusiasi (tuduhan) kepada teman, kolega pejuang- pejuang anti tambang bejat sebagai antek konglomerat dan asing.
Padahal maksudnya adalah, saya hanya memberikan pandangan “semoga” mereka yang menolak izin tambang ke Ormas Keagamaan dan terutama ke NU dan Muhamadiyah bukan antek asing mengingat selama ini perusahaan tambang dan perkebunan monokultur sawit selama itu selalu menggunakan kelicikannya untuk mensiasati opini yang berkembang agar menjadi eskalatif dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk lakukan justifikasi kebijakan. Saya berasumsi, dengan ditolaknya pemberian izin tambang kepada Ormas Keagamaan, maka pemerintah seakan telah memiliki semacam argumentasi bahwa kesempatan kepada masyarakat telah diberikan, namun ditolak. Sehingga dapat menjadi bahan legitimasi untuk melenggangkan sistem tambang basis korporat kapitalis melakukan ekploitasi.
Namun apapun itu, saya menyadari, interpretasi pernyataan saya tersebut telah mengundang kontroversi dan untuk itu saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada teman-teman. Inti pemikiran saya adalah jangan hanya menolak izin tambang ke NU dan Muhamadiyah atau komunitas keagamaan lainya, tapi mari kita tolak izin tambang ke korporat kapitalis dan perjuangkan pengelolaan tambang secara demokratik. Saya sama sekali tidak memiliki tendensi untuk melawan perjuangan secara militan dari teman-teman yang telah melawan tambang korporasi brengsek selama ini, berjuang melawab kebiadaban usaha-usaha tambang kapitalis.
Secara konseptual, dalam pertimbangan saya, organisasi NU dan Muhamadiyah adalah organisasi yang memiliki basis kekuatan moral keagamaan, juga memiliki mekanisme kontrol demokratik yang relatif lebih baik ketimbang perusahaan korporasi kapitalis yang kontrolnya hanya ada di tangan pemilik modalnya yang orentasinya hanya mengejar keuntungan dan keuntungan. NU dan Muhamadiyah adalah organisasi besar dan juga telah menunjukkan karya besar mendirikan republik ini dan juga telah sejak lama kembangkan basis aktivitas sosial dan ekonomi di masyarakat secara luas. Peran besar kedua Ormas ini tentu menjadi kekuatan penting untuk dapat lakukan proses transformasi dalam soal tata kelola tambang dan juga bisnis yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana ke depan. Jika perusahaan tambang hanya dikuasai oleh satu model korporasi kapitalis maka kekuatan masyarakat akan terus semakin melemah mengingat kekuatan para pemilik korporat kapitalis itu menjadi semakin kuat kangkangi negara dan rakyat.
Secara terbuka memang saya mendukung penerimaan izin tambang oleh NU dan Muhamadiyah. Alasanya, karena selama ini, izin tambang itu secara basis kebijakan hanya diberikan kepada elit kaya (pengusaha) kaya yang kuasai izin tambang di mana mana. Mereka adalah segelintir elit kaya di republik ini dan juga pemilik perusahaan asing berbasis korporat kapitalis. Saya berharap, dengan adanya pemberian izin Kelola tambang ke masyarakat, di mana saat ini baru terbatas kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan, nanti akan terus meluas ke seluruh masyarakat. Saya berharap satu saat justru seluruh izin tambang itu diberikan hanya kepada komunitas masyarakat baik melalui mekanisme pemberian izin tambang langsung ke badan badan hukum Ormas ataupun melalui mekanisme imbreng (penyerahan) badan hukum dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang selama ini sesungguhnya adalah milik rakyat dan bukan milik pemerintah.
Sebagaimana kita ketahui, izin tambang yang diberikan kepada korporat kapitalis itu selama ini motifnya hanya satu, mengejar keuntungan (profit oriented) dan menumpuk kekayaan dan ini juga yang telah menyebabkan terjadinya akumulasi kekayaan dan monopoli bisnis pada segelintir elit kaya dan elit politik. Bahkan secara de facto, mereka telah meluas menguasai dunia perpolitikkan kita. Mereka, para pengusaha tambang dan perusahaan monokultur seperti sawit misalnya, secara terang benderang telah ciptakan “klik” politik untuk mengatur kebijakan pemerintah dan bahkan hingga memiliki kemampuan untuk mengintervensi ke tingkat regulasi seperti misalnya Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan lain-lain yang syarat kepentingan kongkalikong tersebut.
Perilaku eksploitatif dari sistem tambang basis korporat kapitalis seperti itu tentu tidak terlepas dari bentuk, serta motif dan tujuannya. Kita tahu bahwa pilihan bentuk entitas dari subyek badan hukum dari tambang basis korporat itu memang hanya satu tujuanya, untuk mengejar keuntungan (profit motive). Dalam model perusahaan berbasis korporat kapitalis, di mana modal adalah sebagai basis penentu satu-satunya dari keputusan dan kepemilikan perusahaan, maka mereka menjadi abai terhadap persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi. Mereka abai terhadap persoalan kemanusian yang ditimbulkan, mereka bahkan abai terhadap persoalan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya dan bahkan selalu berusaha untuk menyingkirkannya.
Kasus konflik di daerah tambang selama ini selalu membuat pilu dan menyayat hati. Sebut saja kasus di Wadas, Jawa Tengah, gugurnya Erfaldi, Suhada pejuang penolakan tambang emas di Parigi, Sulawesi Tengah, penolakan tambang semen Kendeng, Jawa Tengah, kasus tambang emas di Sangihe, Sulawesi Utara dan sebagainya. Pulau Sangihe masuk dalam gugusan pulau kecil. Pulau itu, menurut peraturan perundang-undangan, tidak boleh ditambang. Namun, pemerintah pusat memberi izin perusahaan tambang untuk mengekploitasinya. Penolakan masyarakat setempat yang sangat masif terhadap korporasi PT TMS ternyata tetap tak membuat perusahaan menyurutkan usaha.
Konflik di daerah tambang terus berulang. Seperti fenomena gunung es, konflik tersebut menyisakan masalah kemanusiaan serius berupa nyawa yang melayang sia-sia, trauma mendalam atas kekerasan yang terjadi, serta perpecahan perikatan sosial masyarakat akibat adu domba perusahaan tambang. Di balik berbagai peristiwa kejahatan kemanusiaan tak terperi itu, kita menyaksikan secara kolosal di depan mata bagaimana negara takluk di depan kuasa korporasi kapitalis. Datang dan masuknya perusahaan tambang di sejumlah daerah bukan menjadi berkah, namun justru petaka bagi masyarakat setempat.
Dalam kasus yang terjadi, perusahaan tambang itu bagaikan satu jaringan “mafioso” yang leluasa mengangkangi hukum di republik ini. Kasus Kendeng adalah salah satu contoh buruk soal penegakan hukum. Petani sedulur sikep di Kendeng sudah memenangkan gugatan di pengadilan, namun perusahaan tetap beroperasi. Padahal, putusan pengadilan sudah final (inkracht). Tak hanya masalah kemanusiaan, perusahaan tambang itu juga telah merusak lingkungan. Bahkan, bekas tambang yang dibiarkan menganga lebar tanpa reklamasi banyak merengut nyawa anak-anak di berbagai tempat.
Modus operandi perusahaan tambang untuk masuk ke wilayah tertentu selalu menggunakan cara “mengadu domba.” Sebagian warga justru menolak dibenturkan dengan warga yang mau menerima sejumlah kompensasi maupun janji tertentu, seperti peluang pekerjaan di perusahaan tambang. Dengan dalih telah memperoleh izin pemerintah, perusahaan tambang biasanya segera “meminta” aparat keamanan untuk mengamankan operasi. Mereka merangsek masuk dan menggilas warga yang menolak kehadiran perusahaan tambang. Aparat keamanan menjaga ketat investasi dan areal pertambangan mereka karena dianggap sebagai salah satu instalasi penting negara.
Berbagai riset menunjukkan, masyarakat setempat di daerah pertambangan biasanya bernasib lebih buruk daripada sebelumnya, baik dari sisi kualitas hidup maupun lingkungan. Perusahaan tambang tidak memberikan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat setempat kecuali kenikmatan sesaat tatkala warga setempat diberi uang ganti rugi. Orientasi utama perusahaan tambang basis korporat kapitalis di mana pun adalah mengejar keuntungan bagi segelintir pemilik perusahaan semata. Bahkan, para pemilik saham perusahaan mungkin sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di daerah tambang tersebut.
Tawaran pemerintah agar usaha tambang dapat dimiliki oleh Ormas penting, tapi bukan hanya Ormas keagamaan saja. Sebab jika demikian maka secara Konstitusional justru hal itu menjadi diskriminatif terhadap kelompok Ormas lainnya dan secara tidak langsung justru bertendensi politis yang merusak kepentingan bersama (bonum commune). Soal pentingnya inklusi sosial ini dapat kita gunakan rujukan dari Ensiklik Fratelli Tutti yang ditulis Paus Fransiskus pada tahun 2020. Setiap manusia adalah berharga, setiap manusia memiliki martabat yang tak terbantahkan. Kita semua bersaudara, kita semua bagian dari keluarga manusia. Tidak ada satupun dari kita yang bisa tersingkirkan, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Setiap orang memiliki hak untuk hidup dalam kondisi yang layak, dengan akses Pendidikan, Kesehatan, pekerjaan dan kebebasan. Inklusi sosial bukan hanya pilihan, tetapi kewajiban moral kita (Frattelli Tutti, Bab 3 No. 106-107).
Keterlibatan masyarakat yang dipandang setara ini juga penting karena hakekatnya sumberdaya alam yang ada itu dikuasai negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat bukan untuk kepentingan konglomerat ataupun agamawan. Menurut pandangan saya, satu keterlibatan bisnis tambang oleh masyarakat secara langsung dan luas adalah menjadi bagian dari perbaikan tata kelola tambang. Tak hanya itu, syarat tata kelolanya juga harus demokratis dan jamin setiap orang memiliki hak suara sama dalam tentukan keputusan perusahaan. Keterlibatan NU dan Muhamadiyah dalam masa awal ini sangat penting, walaupun akan mengandung dua resiko, lembaga dan moral pemimpinnya menjadi semakin rusak atau justru sebaliknya, menjadi motor penggerak bagi munculnya tambang-tambang basis masyarakat yang dikelola secara demokratik. Hukumnya jelas, apa yang tak kamu miliki itu tak dapat kamu kendalikan.
Bisnis tambang di Indonesia adalah bisnis yang menggiurkan. Tambang minyak, batubara, nikel, timah, tembaga, mangan, hingga batu andesit dan pasir adalah bisnis yang selama ini menopang kekayaan para elit kaya yang berpatron klien dengan politisi. Untuk itulah bahasan konstelasi rumit soal ideologi politik tambang ini penting, tapi dalam konteks praxisnya juga harus dilakukan. Bagaimana menjawab soal imannen, soal keseharian manusia yang tidak bisa lepas dari ketergantungan barang tambang dan sekaligus kerangka moral ethisnya. Peringatannya, tokoh-tokoh agama dan perwakilan Ormas keagamaan saya harap dapat berperan secara formal untuk kendalikan secara demokratik kerusakan moral dalam proses pengambilan kebijakan dan juga praktek bisnis dan saya yakin tokoh dan juga kelembagaan dari NU dan Muhamadiyah memiliki kapasitas besar untuk ini. NU dan Mumahadiyah adalah organisasi yang telah lama menancapkan reputasinya bagi kepentingan-kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional dan bukan hanya sebagai lembaga atau organisasi keagamaan yang sibuk berkotbah di atas altar suci. NU dan Mumahadiyah juga telah terbukti memiliki peranan besar membangkitkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Konspirasi Global
Dalam konteks politik, jika ditelisik lebih jauh, kasus-kasus yang muncul di wilayah tambang negara-negara miskin dan berkembang sebenarnya adalah ekses dari satu konspirasi elite kapitalis dan elite politik penguasa. Lewat hubungan bilateral atau multilateral, ataupun langsung melalui berbagai macam korporasi multinasional kapitalis dan juga lembaga lembaga pendukungnya seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), World Trade Organization (WTO) dan lain-lain, mereka masuk merangsek ingin menguasai ekonomi negara miskin dan berkembang. Mereka menjebak negara-negara miskin dan berkembang melalui skema ketergantungan terhadap utang, investasi di sektor komoditas ekstraktif (tambang dan perkebunan monokultur) dan importasi untuk konsumsi.
Utang dari lembaga-lembaga multilateral serta utang bilateral dari negara maju masuk dan dieskalasi saat terjadi krisis ekonomi konjungtural maupun insidental. Banyak contohnya, antara lain, krisis ekonomi tahun 1997, krisis tahun 2008 dan krisis ekonomi dampak pandemi Covid-19. Melalui “utang haram” yang penggunaannya dikomitmenkan untuk membangun proyek infrastruktur, negara-negara maju tak pelak banyak mendapatkan keuntungan dari bunga pinjaman. Agenda dan kepentingan mereka yang lebih besar adalah “menjebak” negara-negara miskin dan berkembang agar arus fiskal negara-negara ini menjadi dan tetap bergantung pada utang. Seperti Indonesia saat ini, laju utang yang meningkat pesat pada era pemerintahan Jokowi membuat ruang fiskal negara menjadi sangat bergantung pada utang.
Utang haram itu dikomitmenkan untuk membangun sejumlah infrastruktur fisik, seperti jalan raya, bendungan, pembangkit listrik, bandar udara, pelabuhan laut dan lain-lain. Infrastruktur tersebut sebenarnya “berfungsi” sebagai daya dukung bagi kepentingan investasi asing di komoditas ekstraktif seperti tambang dan perkebunan monokultur semacam sawit dengan memberikan beban berat secara fiskal kepada negara. Selain regulasi yang cenderung berpihak pada kepentingan merek seperti misalnya, UU Ciptakerja yang dirancang, disusun dan disahkan secara inkonstitusional dan melawan tujuan masyarakat. Seluruh kandungan UU “sapujagat“ itu sesungguhnya hanya untuk memperlancar kepentingan investasi konglomerat dan investasi asing terutama di sektor komoditi ekstraktif.
Bank-bank yang sebagian besar sahamnya dikuasai asing secara taktis juga diarahkan kerjanya untuk mendukung pembangunan infrastruktur fisik demi investasi di sektor komoditas ekstraktif dan perkebunan monokultur. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga mengorek keuntungan dengan mengendalikan harga komoditas ekstraktif tersebut di pasaran internasional secara oligopolistik. Nilai tambahnya tak banyak yang kita terima. Perusahaan tambang dan perkebunan monokultur itu juga menyerobot dan merampas tanah rakyat di pelbagai daerah. Saat ini, sebagian besar atau 74% petani kita bekerja sebagai buruh tani. Sisanya adalah petani gurem yang hanya menguasai lahan seluas 0,33 hektar.
Kasus konflik di daerah tambang dan perkebunan monokultur sesungguhnya adalah bagian dari problem simtomatik yang merupakan bagian dari ekses berkait kelindannya konspirasi antara mafia elite kapitalis dan negara imperialis yang mengeruk dan menguasai perekonomian Indonesia. Masalah itu tak hanya cukup direspons dengan penolakan saja, tetapi juga harus dilawan dengan menciptakan narasi tandingan.
Peluang Mengendalikan
Kita paham bahwa kebutuhan akan barang tambang memang satu keniscayaan bagi negara manapun. Sebut misalnya kebutuhan seperti tanah urukan, batu, pasir, mineral, logam, minyak dan lain-lain. Hal yang tak dapat dimungkiri adalah hidup tanpa barang dan hasil tambang sama sekali adalah utopia. Yang lebih penting adalah bagaimana sebaiknya usaha pertambangan “diperlakukan” secara bijak. Termasuk di dalamnya bagaimana menangani dampak yang selalu muncul, baik konflik dan residu sosial-ekonomi maupun kerusakan lingkungan.
Tata kelembagaan perusahaan tambang harus dikelola secara demokratis dengan komunitas atau masyarakat sebagai pengendali penuh dan tidak diserahkan kepada perusahaan yang semata berorientasi mengejar keuntungan. Semua dilakukan agar perekonomian tetap mampu menghadirkan keadilan. Jadi tambang basis komunitas berbasis masyarakat yang sedang diwacanakan harus ditawar dengan model kelembagaan demokratis yang dimiliki dan dikendalikan rakyat sendiri dan tertutama oleh masyarakat di daerah tambang sebagai pemegang hak ulayat bukan oleh komunitas atau masyarakat di luar daerah tambang.
Satu komunitas, paguyuban atau kelompok masyarakat, tentu tidak dapat serta merta mengelola tambang. Sebab secara badan hukum memang peruntukannya bukan untuk bisnis. Apalagi entitas Ormas Keagamaan. Hanya dua jalur badan hukum bisnis yang dapat mengembangkan bisnis di Indonesia, kalau bukan Persero adalah Koperasi.
Badan hukum persero adalah model bisnis dengan orientasi mengejar keuntungan dan kuasa pemegang modal yang paling menentukan. Mereka, para pemilik perusahaan biasanya adalah orang yang berasal dari luar daerah tambang, bahkan investor asing. Untuk itulah, model kepemilikan dan pemberian izin tambang untuk Ormas, apapun itu bentuk ormasnya sebaiknya diarahkan dalam bentuk koperasi dengan model kepemilikan demokratis dari masyarakat setempat.
Badan hukum bisnis koperasi juga berkesesuaian dengan sifat dasar dari Ormas yang biasanya memiliki tata kelola organisasi demokratis. Badan hukum koperasi ini juga memungkinkan dimiliki jutaan orang secara terbuka dan bisa menjadi jaringan konglomerasi sosial yang besar. Koperasi juga cocok untuk mengelola tambang agar masyarakat tetap memiliki kendali atas aktivitas eksplorasi sumberdaya alam di lingkunganya.
Pada hakikatnya, koperasi adalah perkumpulan orang. Menurut International Cooperative Alliance (ICA), organisasi gerakan koperasi internasional, koperasi adalah “perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan mereka dan aspirasi sosial-ekonomi dan budaya bersama melalui perusahaan yang dikelola dan diawasi secara demokratis. Dalam identitasnya sebagai badan usaha, koperasi kerap dibedakan dengan korporasi dalam hal penempatan dan “peran” modal material. Koperasi adalah satu perkumpulan berbasis orang (people-based association). Berbeda dengan korporasi yang merupakan perkumpulan modal (capital-based association). Modal material dalam koperasi diperlakukan hanya sebagai alat bantu bukan penentu seperti dalam korporasi. Modal di koperasi adalah alat untuk mencapai kemanfaatan bersama bukan sebagai dasar untuk menentukan keputusan perusahaan seperti halnya dalam model Perseroan.
Dalam koperasi, manusia merupakan supreme, primus, atau yang utama di atas peran modal material. Untuk itulah kita kemudian mengenal istilah demokrasi dalam koperasi. Koperasi disebut sebagai bangun perusahaan yang demokratis karena setiap orang diberi jaminan hak suara yang sama. Berbeda dengan korporasi. Penguasa modal yang dominan atau pemilik saham mayoritas yang paling berhak menentukan keputusan perusahaan dan organisasi.
Badan hukum koperasi juga dapat menjamin konteks relasi sosialnya bersifat setara. Itu merupakan warisan para perintis organisasi modern pertama koperasi di Inggris yang menyebut diri sebagai persatuan masyarakat yang setara, “the equitable society of Pionners of Rochdale”. Satu deklarasi kesetaraan manusia yang bukan sekadar “peluncuran” pendirian satu badan usaha.
Dalam konteks hukum, badan hukum koperasi memungkinkan untuk membawa misi dan aspirasi sosial sebagaimana yang juga dikerjakan oleh badan hukum perkumpulan maupun yayasan. Namun, koperasi memiliki kelebihan dibanding perkumpulan dan yayasan. Koperasi dapat melakukan aktivitas bisnis secara luas seperti halnya korporasi, sedangkan perkumpulan dan yayasan tidak diperbolehkan menjalankan aktivitas bisnis.
Selama ini banyak komunitas ketika hendak mewujudkan misi dan menjalankan aktivitas menemukan sejumlah kendala pendanaan. Perkumpulan atau asosasi biasanya hanya mengandalkan iuran anggota. Sementara itu, yayasan sangat bergantung pada donatur atau pendonor. Koperasi sebagai organisasi berwatak ganda, baik sebagai perkumpulan orang maupun perusahaan, memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara demokratis dan mandiri serta berkelanjutan. Dengan dasar ini maka tata kelola tambang diharapkan dapat dikelola secara bijaksana.
Pada intinya, tambang memang seharusanya dikelola oleh masyarakat dan dimiliki mereka secara demokratis dan pemerintah sebagai penjaga kepentingan publik adalah memastikan kepentingan semua pihak terjaga dengan baik. Tambang yang bijak tentu bukan hanya dikuasai konglomerat atau ormas keagamaan seperti NU atau Mumahadiyah melainkan seluruh rakyat. Hal ini bisa dimulai misalnya dengan serahkan saham saham BUMN di bidang tambang ke masyarakat langsung melalui nekanisme imbreng (penyerahan).
Jakarta, 1 Agustus 2024
Suroto
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-ina.com