JAKARTA, govnews-idn.com – “Saya nggak risau, saya punya material yang saya butuhkan untuk defense, yaitu data yang solid dan kredibel, barisan orang-orang yang punya integritas dan bukan partisan. Tiga hal itu yang membuat saya confidence, saya tidak mau ada satu orang pun yang berperan dalam film pun berafiliasi dengan 01, 02, atau 03.”
Hal tersebut disampaikan Dhandy Laksono Sutradara Dirty Votes pada diskusi yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina dan LP3ES dengan tema “Bedah Film Dirty Votes Untuk Kawal Pemilu Jurdil” dan dilakukan secara daring, Selasa (13/2/2024) dan dimoderatori oleh Swary Utami Dewi.
Dandhy mengungkapkan latar belakang pembuatan film ini dikarenakan merasa resah dan gelisah dengan perkembangan pemberitaan belakangan ini. Adapun proses sampai dengan terbentuknya tim kurang dari 24 jam dan film mulai digarap sekitar akhir bulan Januari. Semuanya dilakukan dalam hitungan hari, dengan kontribusi yang mereka punya.
“Kami itu tidak membincangkan paslon manapun, yang kami bincangkan adalah yang memiliki kekuasaan,” tegas Bivitri Susanti Akademisi Protagonis Dirty Votes.
Bivitri memaparkan bahwa tujuan pembuatan film Dirty Votes bukan untuk mempengaruhi perubahan pilihan, pesan terpentingnya adalah bahwa kekuasaan itu benar-benar dapat terlihat dari kepala pemerintahan, kepala negara satu negara presidensiil yang jika disalahgunakan sangat memberikan dampak.
“Seharusnya ada ruang untuk berpikir tentang demokrasi kita secara luas, kita tidak diberikan itu. Hukum sering dijadikan tameng bagi politikus yang tidak beretika. Partisipasi politik tak hanya 5 tahun sekali, partisipasi politik ini harus digunakan secara terus menerus dan harus kritis,” kata Bivitri.
Pelembagaan Keresahan Politik
Selanjutnya Nur Hidayat Sardini, Ketua Bawaslu Pertama RI melihat film Dirty Votes mengungkapkan adanya deinstitusionalisasi demokrasi kita. Di mana film ini merupakan pelembagaan keresahan politik, film ini mampu menjadi kapiler dari seluruh persoalan dan semua orang yang merasa peduli dengan demokrasi merasa tersalurkan karena film Dirty Votes.
“Saya sedang resah, karena teman-teman di Bawaslu selalu berpikir normatif. Syarat untuk menjadi pengawas pemilu itu tidak saja kapasitas dan integritas, tetapi juga nyali,” ujar Hidayat.
Wijayanto, Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES mengungkapkan bahwa disetiap gerakan masyarakat sipil selalu diikuti dengan represi digital dan propaganda meng-counter-nya.
“Dirty Votes efektif karena berhasil di tonton 15 juta kali, dan masih terus bertambah. Tetapi efektivitasnya akan makin besar jika juga diiringi dengan strategi untuk menangkis berbagai pelintiran yang berusaha untuk melakukan berbagai stigmatisasi atasnya seperti fitnah, kebohongan dan seterusnya,” tutur Wijayanto.
Selama 5 tahun terakhir lanjut Wija, Indonesia telah berada pada kemunduran demokrasi dan otoritarianisme. “Mengutip Samuel Huntington bahwa disetiap negara yang melakukan transisi demokrasi pada akhirnya akan semakin menjadi demokratis atau malah menuju otoriter. Sehingga hal tersebut membutuhkan perjuangan bersama. Kita dapat menyelamatkan demokrasi dengan cara menggunakan power dalam hal ini adalah pemilu” tukas Wijayanto.
UP – Endot Brilliantono
Nur Hidayat Sardini mengatakan, film Dirty Votes mengungkapkan adanya deinstitusionalisasi demokrasi kita. Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com