JAKARTA, govnews-idn.com – Teori-teori moralitas politik yang dipelajari di Universitas, fakultas hukum luluh lantak dihancurkan para politisi kita di beberapa bulan terakhir. Demikian disampaikan Wanda Hamidah, SH, M.Kn, dalam diskusi yang diselenggarakan secara daring oleh The Lead Institute – Universitas Paramadina bertajuk “Fatsoen-Politik & Pemilu 2024: Urgensi Pemimpin & Politisi Yang Profesional, Bermoral dan Berintegritas Di Indonesia” Jum’at (23/02/2024).
Bahkan menurut Wanda, ketika beberapa akademisi memberikan edukasi politik misalnya melalui film Dirty Vote yang menurutnya biasa saja, jadi mengherankan ketika film itu berusaha untuk ditutup-tutupi bahkan para akademisinya ditersangkakan. “Ini cukup mengejutkan sekali karena film itu sebetulnya nyata dan sangat mendidik,” ujarnya.
Wanda yang juga politisi dan aktivis 98 menekankan bahwa sekarang ini semakin jarang politisi berintegritas dan bermoral. Kalau di fakultas berbicara rule of law, di politik mereka menerapkan rule of games. Hari ini, rakyat sudah berada di titik bahwa mereka akan memilih orang yang akan bisa memberikan apa kepada mereka, bukan untuk 5 tahun ke depan. Tidak mempedulikan apakah presiden yang mereka pilih memperjuangkan mereka atau tidak selama 5 tahun.
“Kita tidak bisa menafikkan keterpilihan Prabowo Gibran adalah karena gelontoran BLT yang diturunkan Jokowi melalui APBN. Artinya masyarakat tidak berpikir panjang bahwa yang dia terima hari itu yag kemudian menjadi acuan dia dalam menentukan pilihan,” papar Wanda.
Wanda menjelaskan bahwa hal ini bukan sepenuhnya salah masyarakat, politisi berkali kali menipu rakyat menjanjikan sesuatu yang tidak pernah di deliver kepada rakyat. “Kalau GM (Goenawan Muhammad) menangis karena merasa tertipu oleh Jokowi, saya sudah enggak menangis lagi, walaupun 2 kali jadi pendukung keras. Karena saya sudah melihat itu ketika saya dulu 98 mendukung pak Amien Rais. It’s happen again di era Jokowi,” terangnya.
Menurut Wanda, PR cukup besar di pemerintahan karena belum ada politisi yang berintegritas bermoral dan profesional. Hal ini dikarenakan tidak ada parpol atau politisi yang mau melakukan chek and balancing terhadap kekuasaan, malah beramai-ramai masuk ke koalisi pemerintahan. Belum ada politisi yang negarawan memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia ke depan.
Pada sambutan pembuka Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina Dr. Phil Suratno Muchoeri, menyatakan bahwa Pemilu 2024, seperti pemilu sebelumnya menyisakan berbagai masalah. Khususnya yang menyangkut para pemimpin dan politisi baru di parlemen, yang diharapkan profesional, bermoral & berintegritas.
“Kalau kita melihat pemilu 2024 terkait model kepemimpinan seperti apa yang hendak dibangun, di tengah berbagai isu seperti menurunnya kualitas demokrasi, penegakan HAM di samping isu yang terkait seperti profesionalitas dan kinerja. Apalagi katanya beras sekarang naik, banyak pengangguran, banyak korupsi,” kata Suratno.
“Kemudian dari segi DPR, kepercayaan terhadap nggota dewan juga masih rendah, seperti kata Gus Dur bahwa DPR seperti taman kanak-kanak, tapi mudah mudahan semakin berkualitas. Tantangan bagi DPR kan produk legislasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kemudian kehadiran, kemudian yang krusial tentu adalah betapa parlemen kita masih terjerat kasus korupsi,” imbuhnya.
Sepertiga Bagian
Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc. menyatakan bahwa bicara moralitas mungkin hanya sepertiga bagian dan di dalam permainan politik yang paling penting ditegakkan adalah rule of law, demokrasi, check and balances. Jadi siapapun yang masuk distandarisasi, kalau mencurangi suara dipenalti.
“Apa yang melatar belakangi ini, kenapa harus seperti satu mata uang dua sisi, jadi moralitas dalam kehidupan sangat penting dan di dalam politik itu harus ada. Sebab kalau rule of law lemah, kalau politisinya mempraktekkan rule by law maka dia sudah bertransformasi menjadi bandit, politisi bandit,” tuturnya.
Didik menjelaskan bahwa ada teori perilaku politisi, yakni pertama empire builders motivation, kemudian budget maximizing motivation. “Menguasai budget berarti menguasai teritorial, empire menguasai kekuasaan. Ketika masuk ke sana seperti bisnisman motifnya adalah profit, itu sangat boleh. Politisi memaksimumkan empires-nya juga boleh. Tapi itu bersentuhan dengan moralitas dan ketika moralitasnya hilang, yang memandu adalah rule of the game, demokrasi dan seterusnya,” ujarnya mengingatkan.
Narasumber lainnya, Dr. Abdul Gaffar Karim, dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menyampaikan bahwa moralitas tertinggi yang harus dipegang adalah demokrasi, yakni kedaulatan di tangan rakyat, kehendak rakyat yang berjalan bukan kehendak segelintir orang
“Nah moralitas ini yang tidak bisa dikawal sebaik baiknya, yang kita keluhkan sebagai absennya fatsun politik karena prinsip moral utama tidak dipegang, kehendak rakyat bukan pengarah utama yang mengunci seluruh polisi di Indonesia,” ungkapnya.
Menurut Gaffar demokrasi di sejumlah negara menunjukkan gelagat penurunan kualitas, pemilu tetap ada, pemimpin dipilih secara demokratis tapi Pemilu juga dilemahkan pemimpin. “Ini terjadi karena tidak ada sistem yang memaksa mereka untuk berbuat baik. Jadi banyak sistem yang memang tidak punya unsur pemaksa seperti UU Pemilu, punya banyak larangan, punya batasan tapi tidak punya sanksi, jadi tidak bisa ditindak,” paparnya.
“Karena itu kata kuncinya adalah menguatkan pendidikan politik. Ini upaya jangka menengah dan jangka panjang untuk menguatkan demokrasi dengan cara yang mudah dipahami agar rakyat punya demand yang bagus untuk memaksa politisi berbuat baik, bukan hanya sekadar benevolence,” pungkasnya.
UP – Endor Brilliantono
Dr. Abdul Gaffar Karim, dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, menyampaikan bahwa moralitas tertinggi yang harus dipegang adalah demokrasi, yakni kedaulatan di tangan rakyat. Foto: UP.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com