Sekali Lagi Soal Naturalisasi Pemain… Jika Berbeda, Kenapa Harus Bersitegang?

December 21, 2023
mnigara1

M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior

Govnews-idn.com – PRO-KONTRA soal naturalisasi pemain, untuk memperkuat tim nasional sepakbola kita, sampai kapan pun akan tetap mengemuka. Tetap menarik untuk jadi bahan diskusi. Tidak ada yang keliru, baik untuk mereka yang pro maupun yang kontra. Basis pemikirannya, sama: untuk dan bagi Indonesia Jaya.

Yang jelas salah, jika tujuan naturalisasi hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Misalkan naturalisasi untuk klub atau naturalisasi untuk bisnis sesaat dan bisnis kecil-kecilan. Adakah itu? Saya tidak ingin menjawabnya, jika kita rajin membuka-buka lembaran berita, apakah itu cetak atau online kita pasti menemukan jawabannya.

Berdikari

Bung Karno, setahun sebelum genap 20 tahun kemerdekaan Indonesia. Presiden pertama kita itu, menyinggung konsep berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) untuk pertama kalinya. Dalam pidato berjudul Tahun Vivere Pericoloso!, Bung Karno memformulasikan konsep Trisakti, yakni: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian kebudayaan sebagai bentuk revolusi suatu bangsa. (Idntimes.com).

Nah, bagi yang kontra naturalisasi, basisnya pasti berdikari itu. Sungguh luar biasa. “Mengapa harus menggunakan tenaga dan keakhlian orang lain, jika kita sendiri mampu melakukannya. Kita memiliki bahan baku yang banyak?” begitu kira-kira.

Dari dataIndonesia.id, jumlah populasi anak-anak remaja hingga pemuda, usia 10-24 tahun jumlahnya 66 juta atau 23,08% dari populasi kita. Satu jumlah yang luar biasa. Jadi, jelas bagi mereka yang kontra naturalisasi, mereka menjunjung tinggi nasionalisme. Sungguh langkah yang patut diacungi jempol.

Masak Susah sih?

Kita juga sering mendengar orang bertanya: “Masak sih, dari jumlah sebanyak itu, kita tidak bisa mencari 11 orang untuk menjadi pemain hebat?”

Tentu sulit untuk menjawab dengan benar. Karena, jangankan mencari 11 orang untuk cabang olahraga (cabor) beregu, mencari seorang petinju, pejudo, perenang, pesenam, petenis, karateka dan lain-lain, kecuali bulutangkis dan Panjat Tebing, kita belum bisa. Padahal semua adalah cabor yang mempertandingkan nomer-nomer individu, banyak kelasnya pula.

Sesungguhnya kita (selalu masih jadi harapan) bisa. Syaratnya semua federasi serius mencari, menanam, membina dan baru memetik hasil. Seperti yang dicontohkan dua cabor, bulutangkis dan Panjat Tebing. Mereka bisa dan luar biasa.

Nah, peran pemerintah, pengusaha dan kita wartawan olahraga, bisa ikut memberikan dukungan yang maksimal. Dengan begitu, bukan tidak mungkin kita mampu. Pertanyaannya, apakah itu bisa terjadi? Jawabnya singkat, tidak. Dari pengalaman yang ada, kita sering asyik bersitegang dan berseberangan.

Kita semua, berdiri sendiri-sendiri. Kita memandang dan melihat dengan cara kita sendiri-sendiri. Akibatnya, jalan terbaik yang kita tempuh selalu penuh liku.

Padahal Jepang dan Korsel saat membangun kompetisinya, mencontek apa yang ada di kita. Dulu, setiap BUMN memiliki klub sepakbola dan berkompetisi di jalur Galakarya. Satu contoh ini mutlak ditiru maka tak heran jika ada klub Matsushita di Jepang dan ada klub Hyundai di Korsel.

Sebelum mereka menggelar kompetisi JFA dan KFA, semua pihak duduk bersama. Berikrar untuk memajukan sepakbola demi negara. Maaf, tidak saling jegal seperti di kita. Selain itu saya juga tidak melihat rancangan atau design besar yang jelas untuk menuju ke arah berdikari tadi. Metode, strategi, untuk mencapai prestasi, juga masih belum terlihat dengan jelas hingga saat ini.

Sejak saya jadi wartawan olahraga 1979 di Majalah Olympik, 1981-94 di Kompas dan BOLA, 1994-2012 di Media GO dan Harian GO Sport, saya tidak melihatnya. Kalau pun ada program khusus, belum sampai tujuan sudah bubar jalan.

Diklat Salatiga, Garuda 1-2, Primavera dan Barretti, banyak betul yang menghajarnya. PSSI tak tahan, lalu dibubarkan. Tidak kepalang yang ‘mengeroyoknya’ ya para insan dan praktisi sepakbola, serta, maaf nih, teman-teman wartawan juga. Alasannya pun beragam, intinya mereka menganggap program itu sia-sia.

Setelah ditelusuri, ternyata tidak sedikit yang ‘menghajarnya’ dengan basis tidak suka semata.

Padahal Diklat Salatiga, biaya ditanggung Bardosono, Ketua Umum PSSI pada masa itu. Garuda, dibiayai Mas Sigit Harjojudanto, salah seorang pengurus PSSI dan pemilik klub Arseto. Sementara Primavera dan Barretti, yang pertama di dunia dan kemudian diikuti Thailand dan Cina, tim asing bisa ikut kompetisi kelompok usia di Italia. Dan, seluruh biaya ditanggung Bang Nirwan Bakrie, juga pengurus PSSI dan pemilik klub Pelita Jaya, kini Persija.

Hasilnya? Seperti kita saksikan, semua hancur berkeping sebelum sampai tujuannya. Meski begitu, banyak pemainnya yang kemudian jadi tulang punggung tim nas. Artinya, program itu sesungguhnya sudah benar, tapi karena ada sesuatu, tujuan utama mereka tidak tercapai.

Sekali lagi, atas nama nasionalisme yang tinggi, atas nama kemandirian, bagi yang kontra, naturalisasi haram hukumnya melakukan naturalisasi. Sekali itu juga tidak keliru. Brazil dan Argentina sebagai negara terkemuka dalam dunia sepakbola, contohnya. Sejak dulu hingga hari ini, kedua negara itu tidak pernah memakai pemain yang bukan warga negara asli.

Kita ketahui bersama pula, sepakbola di dua negara itu, begitu luar biasa hebatnya. Brasil 5 kali juara dunia dan Argentina 3. Kehebatan kedua negara itu tak ada yang meragukan.

Mereka Aja Pakai…

Nah, bagi mereka yang pro juga sama sekali tidak salah. Mereka pun punya basis serupa, ingin membuat Indonesia bisa menggapai Piala Dunia. Maklum, sejak 19 April 1930, saat Ir. Soeratin nekad melahirkan PSSI, 15 tahun sebelum Indonesia merdeka, hingga hari ini, khususnya tim senior kita, belum sekalipun mencicipi putaran final pesta sepakbola dunia.

Jika ada orang menyebut kita pernah ikut Piala Dunia 1938 di Prancis, itu kurang tepat. Betul tuan rumah Prancis mengundang PSSI, catatan, saat itu PD tidak melalui babak penyisihan seperti saat ini. FIFA masih memberi hak penuh pada tuan rumah untuk mengundang negara mana pun sebagai peserta.

Seperti kita ketahui pula, FIFA sejak dulu menganut azas, anti penjajahan. Tetapi, jika Prancis tidak pernah mendengar sepak-terjang PSSI, maka tidak mungkin mereka mau mengundangnya. Dan FIFA menyetujuinya karena mereka ingin mendukung agar penjajahan dihapuskan di Nusantara.

Sayang, syarat yang diajukan Gubernur Jendral Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-42), tidak bisa diterima Soeratin. Mereka diwajibkan menggunakan nama Hindia-Belanda dan lambang kerajaan Belanda wajib dipakai.

Soeratin menolak. Meski Indonesia belum lahir, tapi Merah-Putih dan Lambang Garuda sudah dipakai oleh PSSI. Soeratin lalu memberi sinyal agar para pemain atas nama bonden (Asprop, saat ini) dan pribadi mengambil kesempatan emas itu.

Maka, tujuh pemain kita: Tan Mo Heng, Achmad Nawir, Anwar Sutan, Tan Jong Djien, Isaac Pattiwael, Soedarmadji dan Hans Taihuttu, ikut dalam tim yang berbalut Hindia-Belanda. Jadi, yang tampil di Paris saat itu adalah Hindia-Belanda bukan Indonesia.

Sementara untuk tim junior dan Under 17, sejak 1979 sudah ikut berpartisipasi. Kita maju ke Jepang untuk menggantikan Irak dan Korut yang karena alasan politik mundur. Dan tim U17, kita tampil karena kita jadi tuan rumah setelah Peru dicoret FIFA. Awalnya, kita tuan rumah U20, karena persoalan Israel, hak kita dicabut FIFA.

Jalan Pintas

Karena upaya yang terus-menerus gagal, Shin Tae Yong, diberi sinyal untuk melakukan jalan, naturalisasi. Program ini sebenarnya sudah dimulai sejak Januari 2009, jauh sebelum STY datang ke sini. Saya, Yesayas Oktovianus (Kompas), Reva Deddy Utama (antv) dan Toro alias Erwiantoro (freelence), diberi kepercayaan untuk membuka wacana itu. Kami ke Belanda dan mendapati puluhan pemain yang separuh Indonesia, siap membela tim nasional.

Tentu ini jalan pintas dan kami pun bersyarat dan disetujui PSSI, yang bisa direkrut adalah mereka yang punya darah Indonesia dari mana pun itu. Tapi, sayang PSSI berubah pikiran. Entah siapa yang membisikan NH, naturalisasi yang terjadi justru pemain-pemain asing sudah merumput di Liga kita dan tidak dalam usia emas. Hasilnya ya seperti kita lihat saat ini. Konon, ‘ada bisnis kecil-kecilan di situ.’

Jadi, untuk mereka yang pro, selain dasarnya juga jelas, mereka punya memiliki contph yang tidak kepalang. Selain sukses di Piala Dunia dan Eropa, sepakbola di negara mereka sangat maju. Di bawah ini sederet nama para pemain naturalisasi atau setidaknya bukan orang asli Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan banyak negara lainnya yang memiliki andil hebat bagi negara yang mereka dukung.

Jerman

Empat kali menjadi juara dunia, Jerman tidak ragu memakai para pemain yang bukan asli bangsanya. Padahal sejak era Hitler 1940-an, Jerman adalah bangsa yang menganut faham rasis. Itu sebabnya orang-orang Yahudi dan bangsa Israel dibumihanguskan. Sepakbola di negara itu sangat tinggi kualitasnya.

Miroslav Klose dan Lukas Podolski, ingatkan kita pada kedua bintang Jerman itu? Mereka merupakan pemain keturunan Polandia yang dinaturalisasi sebagai warga Jerman. Ternyata bukan mereka berdua saja, masih ada nama-nama seperti: Oliver Neuville, Fredi Bobic, Gerald Asamoah, bintang Jerman yang diimpor dari proses Naturalisasi.

Masih ada lagi, di bawah ini para pemain nasional Jerman warga keturunan: Mesut Ozil (Turkiye atat Turki), Sami Khedira (Tunisia) dan Jerome Boateng (Ghana). Di dalam tim U17 mereka yang baru saja berhasil mengawinkan Juara Eropa dan Juara Dunia. Dan, tolong dicatat, pemain asli Jermannya hanya lima orang, selebihnya dari Afrika dan negara-negara lain.

Prancis

Perancis juga tidak malu dan tidak merasa berkurang sedikitpun kebanggaan mereka pada tim nasionalnya, meski punggawa mereka bukan orang Prancis asli. Hanya satu kasus di mana Zidane pernah diserang oleh orang yang kemudian dihukum berat karena rasisme.

Inilah Pemain-pemain Prancis dengan status keturunan. Siapa yang berani mengatakan bahwa Zinedine Zidane, bukan pahlawan Prancis untuk Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000? Zidane aslinya orang Aljazair. Lalu ada Thierry Henry (Guadaloupe), Lilian Thuram (Guadalopue), Patrick Vierra (Senegal), Marcel Desailly (Ghana) serta Karim Benzema (Aljazair).

Di samping itu, masih ada bintang besar Prancis yang statusnya sebagai Imigran. Bagi penggila sepakbola, siapa yang tak mengenal nama-nama besar ini? Michel Platini (Italia), Youri Djorkaeff (Armenia), David Trezeguet (Argentina), ternyata mereka bukan orang Prancis asli lho, dan tak seorang Prancis pun yang tidak menghormatinya.

Belanda

Meski belum pernah menjadi juara dunia, tetapi reputasi Kincir Angin dalam dunia sepakbola, tidak bisa diragukan. Tahun 1974 dan 1978, mereka memelopori gaya total football yang menggetarkan dunia.

Generasi berikutnya, kita tak bisa menafikan Trio-Belanda: Marco van Basten, Frank Rijkard dan Ruud Gullit. Mereka moncer dan menggetarkan dunia, pada 1988. Bukan hanya mampu menjadi juara Eropa, trio itu terbang setinggi-tingginya.

Jangan lupa, Rijkard dan Gullit, pasti bukan orang Belanda asli. Tengoklah warna kulitnya. Tapi, lagi-lagi tidak seorang Belanda yang tidak memujanya. Selain itu, malah ada bintang Belanda keturunan Indonesia, Indonesia? Iya, mereka: Simon Tahamata, Sonny Siloy, Giovanni van Brockhorst, Roy Mackaay dan Kenny Tete adalah bintang di masanya.

Inggris

Banyak sekali pemain yang bukan asli orang Inggris, mereka berkiprah untuk negeri yang memakai semboyan: God and my right. Tapi, saya hanya akan mengambil contoh tiga pemain: John Barnes asli dari Jamaica. Bintang Liverpool 1987-1997, dipercaya membela tim nasional the Three Lions sejak 1982-95 sebanyak 79 kali.

John Fashanu asal British Guiana, dan Owen Hargreaves asli Kanada yang mulai berkiprah di tim nasional Inggris sejak 2001-2008 dengan total 46 kali tampil.

Dan yang paling menonjol, calon-calon bintang Inggris masa depan, yang memperkuat Piala Dunia U17 di Indonesia, mayoritas anak-anak Imigran. Dari Jamaica 4, Irlandia 3, Nigeria 2. Lalu masing-masing 1 pemain dari Portugal, Selandia Baru, Polandia, Trinidad Tobago.

Jelaskan? Jadi, jangan hanya karena kita pro atau kontra naturalisasi, kemudian harus bersitegang. Apalagi jika harus seperti dalam Pilpres 2019 yang membelah masyarakat menjadi Cebong dan Kampret. Lagi pula kita hanya sebatas berdiskusi, memberi saran dan tidak lebih dari itu.

Untuk itu, biarlah perbedaan ada di antara kita. Dan biarlah perbedaan itu jadi keindahan dalam hidup.

Semoga bermanfaat…

M. Nigara

Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn

RELATED POSTS