‘Rajin Pangkal Miskin, Hemat Pangkal Melarat’

February 9, 2023

JAKARTA, govnews-idn.com – Kita telah lama mendapati peribahasa kuno yang bisa jadi sumber motivasi dan membangun optimisme tinggi saat menghadapi hidup ini. Salah satunya peribahasa: “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”.

Arti peribahasa di atas adalah siapa yang rajin belajar maka kita akan menjadi pandai. Jika kita berhemat untuk pengeluaran maka kita akan menjadi kaya.

Lalu sebut lagi peribahasa lain seperti “Berakit-rakit dahulu, berenang renang ketepian, bersakit sakit dahulu dan bersenang senang kemudian”. Artinya kita diminta bersakit sakit dahulu dan baru akan memetik kesenangan kemudian. Kita menjadi begitu optimistik menghadapi masalah hidup di dunia ini.

Ungkapan-ungkapan tersebut bahkan kita temui bukan hanya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang membahas soal majas atau peribahasa, tapi di banyak atribut. Di dinding-dinding kelas sekolah juga ungkapan ini ditulis besar-besar dan menjadi begitu menancap di pikiran.

Setelah kita tumbuh menjadi dewasa dan temui dunia yang tak se-belinni, tak suci seperti yang kita bayangkan, semua ungkapan itu ternyata berlaku sebaliknya. Dunia yang banal, dunia yang kasar dan brutal ini ternyata mengungkap banyak fakta yang berkebalikkan.

Saya mendapati kehidupan orang-orang di desa desa yang begitu sangat rajin dan sangat hemat. Tapi rajin menjadikan mereka tetap miskin dan hidup hemat justru membuat mereka hidup melarat.

Mereka secara rajin bangun pagi subuh, berdoa kepada Tuhan, bersyukur telah limpahkan keberkahan. Lalu Mereka bergelut di bawah terik mentari hingga sore hari di tengah ladang .

Mereka yang hanya buruh tani itu cukup terima bayaran Rp35.000 rupiah hingga Rp80.000 per hari. Buruh tani itu sebut saja memiliki anggota keluarga 3 orang. Satu suami atau istrinya dan dua anaknya. Jadi uang hasil kerja itu harus cukup untuk memberikan kehidupan bagi 4 orang. Harus cukup untuk membeli makanan, minuman, sandang dan lain sebagainya.

Rumah mereka yang mereyot tak lagi terurus. Jangankan untuk biayai perbaikan rumah, untuk penuhi kebutuhan pokok makan sehari hari saja mereka sudah begitu sulit. Anak-anak tak lagi dapat asupan gizi yang cukup. Sekolah terpaksa berhenti di tingkat sekolah dasar. Mereka terpaksa harus hentikan kesenangan dan keceriaan di masa kanak-kanak karena mereka harus pergi membantu orang tuanya bekerja.

Mereka yang hanya petani gurem yang berpunya petakan kebun seluas seperempat hektar itu harus hadapi hidup yang mencekik. Mereka terpaksa berutang kepada para pengijon dan tengkulak untuk membayar harga pupuk yang naik-berlipat lipat dan belum lagi kebutuhan kesehatan, sekolah anak dan lain sebagainya. Mereka tak lagi dapat menikmati dan merayakan hari panen mereka dengan riang gembira karena panenan itu sudah bukan lagi jadi hak mereka.

Hidup menderita dari mereka yang rajin bekerja dan serta hemat dalam segala hal pengeluaran itu tak hanya menimpa mereka yang tinggal di desa. Di kota-kota besar ternyata mereka justru lebih menderita. Seorang buruh kasar di kota yang bekerja secara serabutan sebagai kuli bangunan, kuli angkut sampah, pengerjaan galian dan lain-lain itu ternyata hanya terima Rp100 -150.000. Tinggal di rumah petak yang hanya cukup untuk selonjorkan badan.

Dipotong Gajinya

Anak-anak mudanya, mereka begitu rajin bekerja pagi hari subuh hingga pulang menjelamg malam. Berduyun berdesakan naik kereta ekonomi. Menjadi office boy, sekuriti gedung, cleaning servise dan lain-lain dengan gaji Rp3, 4 juta. Namun dipotong oleh perusahaan preman outsourching sebesar 30% dan terima bersih hanya Rp2.4 juta. Tidak masuk karena sakit dipotong gajinya.

Mereka yang rajin bekerja sehari semalam sebagai supir taxi ternyata sisa setoran kepada majikan pemilik taxinya kurang lebih hanya kantongi pendapatan bersih Rp3 juta per bulan. Mereka padahal sudah bekerja sistem ngalong hingga 18 jam per hari.

Mereka rakyat kecil-kecil itu yang memiliki modal sedikit untuk buka lapak jualan makanan di pinggir jalan harus hidup di tengah gencetan preman lapak. Tagihan rentenir setiap hari yang bunganya mencekik hingga 20 – 30% per bulan. Bertempur dan bersaing dengan saudara, kolega yang sama-sama sedang berjuang pertahankan hidup mereka.

Mereka yang punya motor butut daftar aplikasi jadi tukang ojek online. Bekerja siang pagi sore malam sambil klesetan di trotoar jalan. Kerja tanpa jaminan kerja, tanpa tunjangan kesehatan dan santunan sosial tenaga kerja. Bekerja berat pertaruhkan nyawa di jalan dengan potongan mencekik dari pemilik usaha aplikasi.

Mereka rakyat jelata yang berjerih payah dan rajin serta tekun bekerja itu harus padai pandai berhemat untuk hadapi hidup yang semakin individualis di tengah kota. Tetap jaga stamina agar tidak mudah terkena masuk angin dan jaga mental hadapi tagihan rentenir setiap hari.

Semua kontras dengan gaya hidup para elit politik dan elit kaya. Hidup mereka itu sangat penuh kemalasan. Bangun siang karena malam habis menikmati keringan pesta pora dan bermabuk-mabukan bersama dayang-dayang di bar dan tempat karokean.

Mereka tetap kaya raya hanya bermodalkan teken kebijakan semata-mata. Mengembat uang dari pajak rakyat jelata. Kekayaan 4 orang konglomerat yang berkongkalikong dengan pejabat itu hartanya sama dengan 100 juta rakyat jelata Indonesia (Oxfarm, 2021).

Mereka yang rajin ternyata hanya jadi orang miskin. Hidup mereka bahkan harus dihinakan dengan terima santunan sosial dari negara. Mereka yang rajin tetap menjadi bodoh. Mereka menjadi begitu mudah dikibuli oleh para politisi dengan janji-janji hidup lebih sejahtera jika rakyat memilih mereka.

Jumlah rakyat yang rajin tapi miskin, hemat tapi melarat itu adalah penghuni paling banyak negara ini. Jumlah mereka lebih dari separuh rakyat Indonesia. Dari 87% keluarga miskin menurunkan kemiskinan kepada keluarganya ( meru, 2019). Kemiskinan dan kemelaratan mereka bahkan terus langgeng sepanjang masa.

Mereka yang hidupnya sangat hemat dan super hemat harus tetap hidup dalam kubang kemelaratan. Jangankan untuk menabung untuk menjadi kaya. Untuk hidup hari hari saja sudah tak berdaya.

Bersakit sakit dahulu, bersenang senangnya entah kapan!.

Jakarta, 8 Februari 2023

Suroto
Rakyat Biasa

Suroto

RELATED POSTS