Oleh : Suroto
Anggota Lembaga Think Thank AKSES
JAKARTA, govnews-idn.com – Pada tahun 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian inkonstitusional sepenuhnya atau dibatalkan. Presiden dan Parlemen disebut dalam amar putusan diperintahkan untuk segera menerbitkan UU Perkoperasian baru dan untuk sementara diberlakukan kembali UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Sudah hampir sembilan tahun sejak amar putusan MK dan sudah sejak 30 tahun sesungguhnya koperasi di Indonesia diatur oleh satu Undang-Undang yang buruk dan tidak lagi relevan dengan prinsip prinsip utama koperasi.
Janji pemerintah untuk segera menerbitkan UU Perkoperasian sudah didengungkan sejak sembilan tahun silam. RUU Perkoperasian terus dilakukan pembahasan namun tidak kunjung selesai. Sampai hari ini walaupun RUU Perkoperasian itu sifatnya komulatif terbuka untuk pembahasanya tapi Amanat Presiden untuk mengirim draftnya ke Parlemen juga belum dilakukan.
Sementara itu, dalam pembahasan berbagai UU Omnibus Law yang menyangkut koperasi juga tidak melibatkan unsur gerakan koperasi. Sebut saja dalam pembahasan UU Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (PPSK), UU Omnibus Law Perpajakan dan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang belum lama ini disyahkan. Kepentingan gerakan koperasi diabaikan dan dilanggar.
Akibatnya, di tiga UU Omnibus Law itu koperasi tidak mendapatkan rekognisi yang memadai, dan Kementerian Koperasi dan UKM sebagai avant garda bukan dalam posisi membela tapi justru jadikan UU Omninus Law tersebut sebagai bagian rompi pengaman kepentingan elit.
Kementerian Koperasi terlihat lengah dan tidak serius membangun penguatan kelembagaan koperasi. Sebut saja misalnya, di UU Omnibus Law PPSK, koperasi tidak diberikan rekognisi untuk diberikan fasilitas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan juga skema dana talangan (bailout) sebagai bantalan dan last resources seperti yang didapat bank dan asuransi komersial kapitalis. Padahal urgensinya sangat tinggi di tengah banyak koperasi simpan pinjam yang sedang rontok akhir-akhir ini.
Omnibus Law yang memberikan kemudahan untuk menambah dan mengoreksi pasal-pasal yang menghambat koperasi tanpa harus mengikuti model pembahasan RUU khusus perkoperasian yang secara legislasi sangat rumit tidak terjadi. Koperasi diperlakukan diskriminatif dalam konteks regulasi dan sepertinya bangun perusahaan demokratis ini sengaja dikerdilkan. Sengaja tidak dimasukkan dan diintegrasikan dalam kebijakan perekonomian nasional.
Substansi RUU Perkoperasian
Secara teori perundangan Perkoperasian, UU Perkoperasian itu harus dibuat sesederhana mungkin yang berisi tiga hal, yaitu rekognisi atau pengakuan atas praktek terbaik di lapangan, distingsi atau pembeda dengan badan usaha atau badan hukum lainya, lalu proteksi atau perlindungan.
Dalam konteks rekognisi praktek terbaik misalnya, praktek demokrasi, otonomi, keadilan dan lain-lain yang sudah terbukti menjadi kunci sukses koperasi di seluruh dunia semestinya yang diperkuat. Kemudian untuk distingsi itu maksudnya adalah berikan pembedaan perlakuan misalnya salah satunya soal pajak.
Di banyak negara koperasi itu misalnya diberikan pembebasan pajak (tax free). Argumentasinya karena koperasi itu secara prinsip sudah jalankan prinsip keadilan yang jadi tujuan pajak. Koperasi itu secara ideal adalah berfungsi untuk lakukan distribusi pendapatan dan kekayaan sehingga pembebasan pajak merupakan hak moralnya koperasi.
Sedangkan proteksi itu alamatnya adalah mengenai soal perlindungan terhadap perusakan citra koperasi dari perilaku oportunis, para perusak koperasi seperti koperasi abal-abal dan koperasi papan nama yang mendominasi jumlah koperasi di Indonesia saat ini.
Dalam konteks proteksi ini mesti jelas dan tegas serta imperatif untuk mencegah munculnya koperasi-koperasi palsu yang saat ini jumlahnya masif di masyarakat. Harus ada sanksi tegas di UU sebagai cara untuk melindungi kepentingan masyarakat atau publik dari para oportunis yang manfaatkan kelemahan regulasi selama ini.
Diri Mereka Sendiri
Soal permodalan, lapangan usaha dan apalagi urusan adopsi tata kelola basis digital itu serahkan saja pengaturannya di tingkat regulasi internal mereka. Supaya koperasi dapat menentukan apa yang terbaik untuk diri mereka sendiri. Mau mereka masuk di sektor manapun dan termasuk sektor riil atau sektor keuangan harusnya menjadi kewenangan mereka sendiri dan pemerintah tidak perlu campur tangan.
Soal rekognisi syariah itu juga aneh, koperasi adalah satu konsep ekonomi yang sejak awal kelahiranya itu sudah syariah, sesuai dengan hukum islam karena hal yang paling mendasar dari koperasi itu adalah untuk menciptakan sistem bisnis atau sistem ekonomi anti usurius, anti eksploitasi, ciptakan sistem bisnis dan ekonomi yang adil. Koperasi lahir justru untuk tujuan ini. Bukan yang lainnya.
Pengaturan secara dualistik model regulasi koperasi konvensional dan koperasi syariah ini justru seakan mempertegas bahwa koperasi palsu, koperasi abal-abal yang selama ini berlaku eksploitatif di masyarakat justru mendapatkan legilitimasinya. Padahal masalahnya karena undang-undangnya selama ini yang tidak imperatif.
Tujuan dari koperasi secara basis nilai sudah islami dan belum jaminan bahwa koperasi yang mendapatkan label syariah itu sudah pasti sesuai dengan prinsip hukum islam. Ini juga berpotensi akan merendahkan konsep hukum islam sendiri.
Hal-hal penting yang lainya yang perlu diterjemahkan dalam regulasi setingkat UU itu juga misalnya penghapusan wadah tunggal Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan juga pengakuan terhadap model baru dari koperasi multipihak (Multistakeholder cooperative) yang juga menjadi modular sistem kelembagaan koperasi baru yang perkembanganya cukup progresif di seluruh dunia akhir-akhir ini.
UU Perkoperasian yang baik itu mesti geser paradigma pembinaan ke arah pemberlakukan otonomi koperasi. Di UU Perkoperasian yang baru juga perlu perubahan paradigma bahwa koperasi itu bukan tempat untuk charity, subordinat badan usaha lain dan atau jadi binaan pemerintah.
Lagi, soal ekosistem perkoperasian, di UU Omnibus Law Ciptakerja yang mengoreksi pasal pasal UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang mengatur soal ekosistem perkoperasian sudah dimasukkan sampai rigid membentuk kelembagaan kelembagaan baru dan ini adalah bentuk kemunduran yang mendasar. Di UU Perkoperasian yang baru nanti harus menghapus pasal pasal itu. Sebab, justru pasal-pasal tersebut akan membawa mundur tata regulasi kita ke jaman kolonial yang serba di-ofisialisasi oleh pemerintah. Paradigma baru regulasi koperasi harusnya peran pemerintah justru harus dikurangi, di-deofisialisasi menuju ke otonomi.
Pasal-pasal yang dimunculkan dengan istilah ekosistem itu sesungguhnya hanya perluas fungsi pembinaan yang selama ini ada dan justru sejatinya membinasa prakarsa koperasi. Pasal-pasal soal ekosistem yang sudah berlaku di UU Ciptakerja isinya hanya ingin jadikan rompi pengaman bagi permainan proyek pejabat dan elit politik di koperasi.
Regulasi yang adaptif terhadap masalah perkembangan global harusnya semakin sederhana pasal-pasalnya dan mestinya paradigna undang-undangnya mengarahkan ke fungsi otonomi koperasi, bukan justru memperkuat fungsi offisialisasi pemerintah. Ini namanya mengulang kesalahan sejarah, bagaimana pemerintah kolonial mematikan koperasi dengan banyak mengintervensinya.
Banyak negara lain seperti negara-negara Scandinavia misalnya yang tidak punya Undang-Undang Koperasi tapi koperasinya berkembang dengan baik karena regulasi dan kebijakan ekonomi nasionalnya integrasikan koperasi. Sebab dalam koperasi itu berlaku hukum, lebih baik tidak perlu undang-undang koperasi jika kualitas undang-undang itu buruk.
Dalam konteks masalah regulasi perkoperasian, yang paling urgen justru saat sebetulnya adalah membentuk pendekatan Ombudsman untuk membentuk UU Omnibus Law Penguatan Perkoperasian. Dan membongkar masalah-masalah sumbat botol regulasi secara lintas sektor yang selama ini mendiskriminasi, mensubordinasi dan bahkan mengeliminasi koperasi dari sistem kebijakan ekonomi nasional. Sebut saja UU BUMN, UU Rumah Sakit, UU Penamanan Modal dan lain lai yang jelas singkirkan koperasi dari lintas bisnis modern.
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-ina.com