Hari Kemerdekaan, (Belum) “Merdeka” Dari Covid-19?

August 1, 2022
JAKARTA, govnews-idn.com – IBU pertiwi masih bersusah hati. Dibayangi rasa cemas dan was-was. Padahal sebentar lagi akan merayakan hari ulang tahun ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Tepatnya 17 Agustus 2022. Mengapa? Covid-19 masih jadi momok yang membuyarkan ikhtiar bangsa memaknai kemerdekaan sebagai momentum menumbuhkan optimisme hidup yang lebih baik.    
 
Sebenarnya, Indonesia pernah menghirup aroma “merdeka” dari invasi Covid-19. Tapi tidak lama. Hanya sebentar. Kebebasan itu bakal terenggut lagi. Tidak lagi bebas bepergian, harus selalu pakai masker (baik didalam maupun diluar ruangan) dan tak leluasa lagi berkumpul dengan kerabat. 
 
Pemerintah kembali mewajibkan persyaratan vaksin lengkap ‘booster” di semua moda transportasi. Beberapa event dibatalkan. Rumah Sakit dan sarana kesehatan darurat disiagakan. Mitigasi, karantina, alarm kewaspadaan diaktifkan. Dalihnya data statistik. Angka penyebaran dan warga terpapar Covid-19 beranjak naik lagi!
 
Kebijakan dan berbagai langkah yang dilakukan pemerintah lagi-lagi mengundang tanya dan tafsiran bermacam-macam di ruang pubik. Bahkan wacana agar bisa hidup berdampingan dengan Covid-19 mulai diragukan. Belum lagi, kondisi psikologis masyarakat yang lelah dan capek. Betapa tidak, bayangkan sudah hampir dua tahun lebih penduduk Indonesia dan sebagian besar warga negara dibelahan dunia ‘terjajah” dan bergulat dengan pandemi Covid-19. Tampaknya belum ada tanda-tanda virus yang menyerang saluran pernafasan itu akan betul-betul berakhir. 
 
Soal vaksinasi, mumpung saya ingat, sebenarnya animo dan kesadaran masyarakat mulai tinggi. Tren peningkatan itu juga mesti butuh dicari tahu dan dianalisa mendalam. Apakah ada relasi antara kebijakan syarat kepengurusan administrasi yang selama ini diterapkan pemerintah. Jangan sampai kesadaran masyarakat tersebut bersifat semu. Apakah karena adanya unsur “keterpaksaan” sebagai syarat administrasi seperti syarat masuk mall, tempat-tempat publik, bepergian dengan moda transportasi dan lainnya. Atau juga masyarakat mulai khawatir terpapar dengan varian omicron sehingga mau mengikuti vaksinasi.
 
Pandemi covid-19 yang telah merenggut banyak nyawa mestinya memantik kesadaran baru bahwa Kemerdekaan RI dari penjajahan bukanlah akhir dari perjuangan pembebasan. Tapi kenyataannya penjajahan itu banyak nyawanya yang lahir kembali dalam ragam bentuk. 
 
Saya jadi teringat sambutan Presiden Soekarno saat membuka Konferensi Asia Afrika tahun 1955 silam. Sang proklamator kemerdekaan RI saat itu telah memberi “warning” soal reinkarnasi penjajahan tersebut. Kata Bung Karno, kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual dan penguasaan material yang nyata. 
 
Realitasnya tak terbantahkan. Bahkan dirasakan saat pandemi Covid-19 menerjang hingga mengoyak tatanan kehidupan kita, sesungguhnya mengisyaratkan bangsa ini masih perlu berjuang “memerdekakan” diri di bidang kesehatan. 
 
Hingga pertengahan tahun ini saja, menurut data statistik yang dirilis Kementerian Kesehatan, Indonesia menghabiskan kurang lebih Rp15 triliun untuk membeli vaksin Covid-19. Beli? Yah, kita mesti beli, karena masalahnya negeri ini belum “merdeka” dalam produksi vaksin. Masih tergantung impor. 
 
Jangankan vaksin, harga obat-obatan juga selangit karena 95% bahan bakunya tergantung impor. Sementara disisi lain, Indonesia punya BUMN sektor itu. Juga sebagai negara tropis amat kaya raya dengan aneka flora sebagai bahan baku obat. Begitu juga alat-alat kesehatan yang masih dipenuhi dengan impor. 
 
Prof Wiku Adisasmito
 
BERKACA dari pandemi Covid-19, mestinya dilihat tidak hanya aspek tantangannya saja. Tapi juga ada peluang di sana. Paling tidak semakin menyadarkan bangsa ini untuk segera “memerdekakan” diri dari ketergantungan impor bahan baku obat-obatan dan alat-alat kesehatan. 
 
Sementara pada sisi lain, kaum terdidik alias intelektual di negeri ini kontribusi dan perannya belum terdengar nyaring. Masih rata-rata air. Sepertinya belum banyak dilirik. Padahal, kalau mau jujur, mereka sebenarnya punya kemampuan yang luar biasa. Apalagi dari segi kuantitas, Indonesia memiliki ratusan ribu peneliti dan inovator serta ribuan diaspora peneliti kelas dunia. Bahkan, di antara vaksin yang diimpor itu ada hasil racikan peneliti diaspora kita.
 
Suatu waktu, seorang kawan bertanya: “Kalau begitu kapan Indonesia ‘merdeka’ dari Covid-19?” Entahlah. Tapi tidak mungkin juga kita hanya bertanya pada rumput yang bergoyang, kata penyanyi legendaris, Ebiet G.Ade. 
 
Pemerintah menjawabnya diplomatis. Melalui juru bicara Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito mengatakan, seperti dikutip berbagai media, bahwa adanya persepsi ‘tidak merdeka’ muncul karena ada banyak kebiasaan baru sejak pandemi melanda. 
 
Karenanya, dia mengajak untuk segenap warga bangsa bersama-sama mengubah sudut pandang (mindset) jika ingin ‘merdeka’. Meski saat ini kebebasan kita seolah-olah terenggut oleh batasan yang disebabkan pandemi, namun sejatinya kemenangan akan terwujud apabila kita mampu hidup berdampingan dengan Covid-19. 
 
Prof Wiku mengungkapkan, setidaknya ada empat syarat yang harus dilakukan agar kita bisa “merdeka” dari covid. Pertama, meminimalisir dampaknya pada keselamatan, kemudian membangun kembali ekonomi, mempererat persatuan dan kesatuan sebagai bangsa. Dan keempat adalah ikut berkontribusi sebagai bagian dari masyarakat global yang sangat dibutuhkan saat ini. 
 
Dengan momentum Hari Kemerdekaan, alangkah bagusnya kita mendorong dan membangkitkan spirit heroik dengan kesadaran baru seluruh anak bangsa untuk “merdeka” dari Covid-19. Hanya dengan pembebasan dari wabah penyakit menular itulah kita bisa menumbuhkan kualitas hidup lebih baik.
 
Semangat membebaskan diri dari Covid-19 merupakan satu bentuk patriotisme pada masa new normal. Bentuk konkrit patriotisme itu mematuhi protokol kesehatan (prokes), pakai masker, menyukseskan vaksinasi dan sebagainya.
 
Rasanya sudah maksimal setiap langkah serta kebijakan yang dilakukan pemerintah dan patut diberikan apresiasi. Hanya saja, dibutuhkan keberpihakan dan konsistensi.
 
RUSMAN MADJULEKKA
 
Ilustrasi Virus Corona. Foto: Vc
 
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com

RELATED POSTS