JAKARTA, govnews-idn.com – Koperasi adalah organisasi perusahaan demokratis yang didirikan dan dimiliki oleh siapapun dan bahkan oleh konsumennya sekalipun. Demikian juga seharusnya dalam bidang bisnisnya, seharusnya dapat bergerak di semua sektor bisnis. Tidak boleh didiskriminasi dengan alasan apapun. Apalagi di Undang-Undang Dasar kita menyebut bahwa sistem ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu (demokrasi) yakn koperasi.
Dalam rezim demokrasi, asas pengelolaan langsung perusahaan negara oleh rakyat itu jadi inti. Demokrasi ekonomi semestinya memberikan peluang partisipasi aktif rakyat pada proses ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi.
Dalam prakteknya, di dalam banyak Undang-Undang (UU) ternyata sudah berlaku diskriminatif terhadap badan hukum koperasi. Dalam banyak praktek kebijakan bahkan tidak diperkenankan masuk ke dalam bisnis sektoral tertentu. Padahal, koperasi itu juga merupakan badan hukum privat, badan hukum persona ficta yang diakui oleh negara.
Sebut saja bentuk kongkrit dari diskriminasi soal hukum itu ada di UU BUMN, UU Rumah Sakit, UU Penanaman Modal (Asing) yang semuanya mewajibkan berbadan hukum perseroan. Bahkan tidak diberikan kesempatan secara opsional sekalipun. Sehingga koperasi akhirnya tersingkir dari seluruh lintas bisnis modern dan berkutat di usaha simpan pinjam kecil-kecilan.
Di UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, koperasi tidak lagi diberikan peluang untuk menjadi badan hukum BUMN. Disebutkan di pasal 9 secara letterlijk bahwa BUMN terdiri dari Persero dan Perum, yang kemudian nalar kapitalisnya didukung oleh seluruh isi dari UU tersebut.
Konsep kepemilikkan yang wajibkan berbadan hukum persero dalam UU BUMN adalah bentuk diskriminasi yang sesungguhnya bertentangan dengan pasal 28 D yang seharusnya memperlakukan seluruh badan hukum bisnis adalah sama.
Dalam konsideran UU yang menyebut tujuan dari dibentuknya UU sebagai pelaksanaan demokrasi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat langsung diamputasi oleh isi pasal pasal dalam batang tubuh UU itu.
Akibatnya jelas nyata, seluruh badan usaha milik negara ini menjadi berbadan hukum perseroan. Tidak ada satupun yang berbadan hukum koperasi. Semua berubah dalam konsep bisnis kapitalis yang akhirnya kuasa bisnisnya tersentral ke Presiden dan Menteri BUMN. Rakyat hanya jadi obyek dari bisnis dan tidak tahu menahu soal berjalanya usaha BUMN.
Sulit dipahani, argumentasi hukum apa yang mendasari munculnya tidakan pemerintah dan parlemen. Tapi kalau menilik lebih dalam konteks politiknya tentu dapat dimengerti. Sebab pemerintah dan parlemen hasil pemilu liberal kapitalis ini sesungguhnya tak lebih dari boneka kepentingan segelintir elit pebisnis kapitalis. Bahkan secara brutal mereka saat ini merangsek masuk mengambil peran sebagai regulator dan pembuat kebijakan langsung dengan ikut kontestasi di pemenangan Pemilu di mana-mana dengan kekuatan finansial mereka.
Tentu, dengan berkembangnya koperasi di berbagai sektor dan menjadi bisnis besar akan menggangu kepentingan bisnis konglomerasi kapitalis. Para elit kaya plutokrat itu tentu tidak ingin bisnisnya tergerus oleh bisnis demokratis yang dapat dimiliki oleh rakyat banyak. Sementara para birokrat tentu dengan berkembangnya bisnis koperasi yang dimiliki dan dikontrol oleh rakyat banyak sulit untuk melakukan upaya kongkalikong lagi.
Seharusnya, kalau pemerintah itu adil, koperasi itu boleh bergerak di semua sektor bisnis. Apapun yang dapat dikerjakan oleh korporat kapitalis itu juga dapat dikerjakan oleh koperasi.
Diberbagai belahan dunia terbukti bahwa sektor kebutuhan sehari hari seperti menjual barang kelontong dalam bentuk minimarket maupun supermarket, perdagangan besar, layanan keuangan seperti bank dan asuransi, sektor pertanian, perikanan, peternakan, pertanian, transporatasi, telekomunikasi, konstruksi, industri, sektor publik yang layani barang publik seperti listrik, rumah sakit, sekolah, kampus dan lain sebagainya dapat dikerjakan dengan model koperasi.
Justru, BUMN yang seharusnya mengemban fungsi sebagai layanan publik (public servise obligation) memiliki kesesuaian dengan konsep koperasi yang berorientasi mengejar manfaat bagi banyak orang dan bukan mengejar keuntungan yang berakibat munculnya komersialisasi dan komodifikasi dari layanan publik kita seperti saat ini. Kepemilikkan demokratis koperasi ini juga akan berfungsi ganda, selain mendatangkan layanan masyarakat juga akan memberikan nilai tambah ekonomis dan sosial bagi masyarakat yang menjadi pemiliknya.
Dengan menggunakan model badan hukum koperasi juga berkesuaian dengan kemauan UUD karena seluruh BUMN berubah menjadi demokratis di mana seluruh warga negara dapat langsung menjadi pemiliknya, turut berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap kelangsungan perusahaan dan yang jelas dapat langsung turut menikmati hasilnya.
Dengan dimiliki langsung masyarakat maka BUMN akan sungguh-sungguh dapat menjadi akselerator bisnis masyarakat. Akan ada banyak manfaat strategis dampak multiplier yang dapat dinikmati masyarakat yang selama ini de facto hanya menjadi obyek dari penyelenggaraan bisnis BUMN.
Perubahan Model
Model kepemilikkan bersama oleh masyarakat luas akan menjadi tindakan strategis bagi pembaharuan BUMN yang selama ini menempatkan masyarakat hanya sebagai pihak yang dilayani. Perubahan model kepemilikan ke koperasi publik akan menjadikan masyarakat berperan membangun kemajuan perusahaan sebagai investor, perumus kebijakan langsung, produsen, konsumen loyal, karena basis kuasanya langsung di kepemilikanya yang melekat pada perusahaan.
Secara sederhana dapat digambarkan, misalnya, dalam bisnis perbankan yang diselenggarakan oleh bank-bank BUMN selama ini. Apabila seluruh bank-bank tersebut diganti badan hukumnya menjadi koperasi maka dengan sendirinya menjadikan masyarakat semakin loyal pada bank tempat mereka menyimpan dan meminjam. Sebab, secara langsung seluruh keuntungan sebagai nilai tambah manfaat yang ada di bank akan menjadi nilai tambah bagi keuntungan individu nasabah pemiliknya.
Demikian juga yang akan terjadi diberbagai sektor bisnis BUMN lain. Seperti di sektor pangan, industri pengolahan, telekomunikasi, asuransi, konstruksi, pengadaaan air, pengolahan sampah, perdagangan, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, perumahan, transportasi dan pergudangan dan lain sebagainya. Bisnis-bisnis ini apabila digeser ke arah model kepemilikkan koperasi maka akan berdampak strategis bagi masyarakat dan apa yang disebut dengan makna terkandung dalam UUD 1945 sebagai dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat akan benar-benar dapat diwujudkan.
Tidak hanya itu, dengan transformasi model kepemilikan yang bergeser dari model perseroan yang tersentral pada kuasa investor dan jadi perburuan rente para pemilik modal besar, baik sebagai kreditor maupun pemilik saham sebagian dari BUMN yang sudah go public, akan terhenti dengan sendirinya. Sikap-sikap mental feodal dari para penyelenggara perusahaan BUMN selama ini akan berubah karena seluruhnya akan berorientasi pada pelayanan karena posisinya tidak lagi hanya mewakili pemerintah namun langsung dari masyarakat luas.
Perusahaan-perusahaan ini juga akan berubah menjadi perusahaan yang ekologis, humanis karena masyarakat bukan lagi menjadi obyek perusahaan melainkan akan menjadi pemegang kedaulatan penuh di mana suaranya akan didengarkan pada rapat pemilik perusahaan.
Seluruh layanan BUMN juga akan terhindar dari berbagai bentuk komersialisasi dan komodifikasi layanan jasa dan barang publik yang selama ini sebetulnya sudah sangat merugikan masyarakat.
Sebagai bencmark atau tolok ukur di negara lain misalnya, untuk model perbankan kita dapat mencontoh model kepemilikkan koperasi Desjardins Bank di Canada yang jadi bank milik puluhan juta nasabahnya. Model kepemilikan listrik dapat mencontoh koperasi listrik National Rural Elextricity Cooperative Association (NRECA) di Amerika Serikat dan untuk rumah sakit dapat mencontoh koperasi Group Health Cooperative (GHC) di Amerika Serikat yang sering kita tuduh sebagai negara kapitalis. Padahal, kitalah yang ultra kapitalis.
Sejak diterbitkanya UU BUMN tahun 2003, sebetulnya BUMN kita sudah tidak ada bedanya dengan usaha swasta lainnya. Mereka adalah korporasi pengejar keuntungan. Sehingga masyarakat dalam posisi sebagai obyek eksploitasi bisnis semata. Munculnya masalah protes buruh alih daya (outsourching) yang gaji dan nasibnya tidak jelas dan jauh timpang dibandingkan pekerja BUMN tetap adalah salah satu dampaknya. BUMN-BUMN sebagai layanan jasa dan produk kebutuhan hajat hidup orang banyak jadi bersifat komodikatif dan komersialitatif dan masyarakat luas menjadi obyek eksploitasinya.
BUMN yang ada saat ini sudah menyimpang jauh dari konstitusi dan membahayakan perekonomian dan kemandirian bangsa. Selama satu dasawarsa lebih BUMN telah terseret jauh menjadi kapitalistik, bahkan membuka keran bagi dominasi asing terhadap instalasi vital ekonomi negara. Bahkan Menteri BUMN secara terbuka kelak 2045 tidak lagi menginginkan adanya BUMN ini.( https://www.liputan6.com/amp/4294959/erick-thohir-mungkin-bumn-tak-diperlukan-lagi-di-2045).
Masyarakat awam selama ini banyak yang tidak tahu kalau BUMN kita itu beberapa di antaranya tidak lagi dimiliki oleh negara secara de facto. BUMN yang ada saat ini tak ubahnya satu sapi perahan, kalau merugi dianggap sebagai aktivitas in-efisiensi dan kalaupun berpotensi hasilkan keuntungan sudah dirampas oleh para kreditor. Sudah begitu, perusahaan yang sudah go public-pun ternyata kinerjanya banyak ditopang modal penyertaan dan dana penempatan dari pemerintah serta subsidi yang dibayar oleh pajak rakyat.
Saham BUMN kita yang terdaftar di bursa efek sudah banyak yang terdilusi dan jatuh pada penguasaan asing. Ini artinya kita sudah tidak bisa lagi mengendalikan apa yang kita miliki.
Menurut UU No. 19 Tahun 2003 secara redundant menyebut tujuan dari BUMN adalah untuk mengejar keuntungan (profit oriented) seperti disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4 dan Pasal 12. Secara isomorfis BUMN jelas tidak cocok dengan korporasi yang berbadan hukum perseroan di mana basis filosofinya mengejar keuntungan. Ini jelas telah menyalahi UUD 1945 terutama pasal 33 yang menganut sistem demokrasi ekonomi.
UU BUMN yang ada jelas keliru dalam basis epistemnya. Bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi karena masyarakat kehilangan kendali terhadap perusahaan. Hal mana bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan karena justru mendorong pada penguasaan aset negara pada segelintir orang dan akhirnya justru ciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Terakhir, BUMN itu adalah milik negara dan negara milik kita. Kenapa kita diam ketika tak ikut dilibatkan dalam mengatur kebijakan BUMN?
Jakarta, 23 Juli 2023
Suroto
Ketua organisasi think thank AKSES dan CEO INKUR (Induk Koperasi Usaha Rakyat)
Suroto