JAKARTA, govnews-ina.com – Koperasi Kredit (Kopdit) atau Credit Union (CU) di Indonesia pernah dikembangkan oleh anak muda Indo-Belanda, Asisten Residen Purwokerto yang bernama de Wolf van Westerrode pada awal 1890-an di Purwokerto. Namun sebagai satu gerakan, terlihat pertumbuhanya sejak ditanamkan oleh Pater Abrecht Kariem Arbie sejak tahun 1970-an. Sejak itu, sekarang telah bertumbuh hingga beranggotakan 4,2 juta orang. Modal finansial yang terkumpul dari anggotanya sebesar 43 triliun rupiah.
Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI) yang terafiliasi dalam dua federasi nasional Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) dan Pusat Koperasi Credit Union Indonesia (Puskopcuina) tersebut tersebar hampir di seluruh provinsi Indonesia. Pada saat krisis 1998 anggota dan simpanan mereka bertambah secara melompat. Namun mulai mengalami stagnasi sejak tahun 2010-an.
Pertumbuhan yang terjadi sifatnya geo spasial. Perkembanganya cukup tinggi dan masif di hanya 3 provinsi: Sumatera Utara, NTT dan Kalimantan Barat. Lalu mulai mengendor dalam beberapa tahun terakhir ini.
Di Kalimantan dan NTT terutama, perkembanganya juga mengalami situasi kejenuhan. Bahkan “persaingannya” sudah masuk ke samudra merah. Gejala itu dapat dilihat dari satu anggota di satu CU keluar dari CU-nya, lalu masuk ke CU yang lain. “Persaingan” antar CU terlihat semakin sengit di lapangan.
Padahal, kalau dilihat dari potensi pertumbuhan anggota, melihat jumlah anggota yang baru 4,2 juta itu artinya tingkat penetrasinya dari pasar potensial CU baru 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah penduduk kita yang 280-an juta , masih ada 98,5% lagi potensinya.
Pertumbuhan yang stagnan dihampir semua wilayah, “persaingan” yang sudah mulai terlihat berdarah-darah, namun di sisi lain tingkat penetrasi jumlah anggota CU dibandingkan dengan jumlah penduduk yang masih sangat jauh menandakan adanya masalah strategis yang serius. Bisa jadi masalahnya justru sudah masuk ke wilayah yang bersifat paradigmatis, bukan hanya masalah strategi semata.
Koperasi Kredit atau Bank Koperasi (Cooperative Bank) pertama-tama dikembangkan oleh Schulz Deliz, namun menjadi praktek yang masif dikembangkan oleh Frederick Welheim Raiffisien di Jerman pada tahun 1848. Nilai dan prinsipnya diadopsi dari Koperasi Konsumen, Pionners of Rochdale tahun 1844 dan merupakan koperasi pertama di dunia.
Istilah Cooperative Bank mengalami perubahan nama menjadi Credit Union sejak dikembangkan oleh Edward A. Filene di Wisconcin, Amerika Serikat pada tahun 1909. Credit Union ini diadopsi dari nama Trade Union atau organisasi buruh. Union dalam trade union dianggap sebagai satu persatuan yang memiliki kekuatan “common bond” atau ikatan pemersatu yang kuat. (Ian MacPherson, 1999).
Ada tiga common bond penting yang ditemukan Filene sebagai kunci keberhasilan mengawali Credit Union. Inilah tiga common bond penting tersebut : ikatan sosial organisasi, lingkungan kerja dan tempat tinggal.
Di Indonesia ini, sejak dikembangkan oleh Pater Abrecht Kariem sebagai seorang pastur Ordo Jesuit maka gerakan Koperasi Kredit atau Credit Union tidak terlepas perananya dalam pengembangan awalnya dari para aktivis gereja katolik. Terutama sekali para guru-guru sekolah Katolik. Sehingga akhirnya berkembanglah dengan pesat di daerah yang memang banyak umat katoliknya.
Penting
Kekuatan common bond dari persamaan anggota di organisasi gereja Katolik menjadi penting. Inilah yang pada akhirnya membuat Koperasi Kredit atau Credit Union di Indonesia berkembang diawal dengan baik.
Dalam perkembanganya, umat Katolik di tiga provinsi di atas telah turut mendorong pertumbuhan CU. Di daerah yang umat katoliknya kurang maka anggota CU-nya juga mengalami perlambatan dan sebaliknya, di daerah yang umat katolikmya banyak, mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.
Di daerah yang paling banyak umat katoliknya juga pada saat ini telah mengalami stagnasi jumlah anggota. Sebab ekspansinya juga bergantung dari umat katolik yang jumlahmya terbatas.
Pada saat inilah akhirnya CU mengalami yang saya sebut sebagai gejala “stunting”. Mereka tidak lagi mengalami perkembangan. Masalahnya bahkan sudah dapat dikatakan masuk dalam kategori “paradigm barrier atau ideological barrier” atau hambatan paradigma atau ideologi yang dasarnya adalah keagamaan atau kepercayaan.
Agama di manapun di dunia ini, mengandung suatu unsur penting yang namanya kepercayaan. Kepercayaan dalam agama itu sifatnya dogmatis. Bahkan ada istilah mempercayai satu agama itu berarti tidak mempercayai agama lainnya atau fanatisme. Bahkan terlihat dari pemahaman orang-orang yang dalam pemahaman agamanya masih sempit, mereka menganggap orang beragama lain itu beda dan itu dapat disebut sebagai sumber masalah.
Credit Union adalah institusi layanan keuangan, namun perkembanganya sebagai satu koperasi tidak dapat dilepas dari perikatan budaya masyarakatnya. Koperasi kredit atau Credit Union di Kalimantan Barat misalnya, tidak bisa dilepas dari spirit yang dimiliki oleh masyarakat Dayak dan umat Katolik. Koperasi sebagai perkumpulan orang tentu tidak bisa dilepas dari perikatan budaya masyarakatnya jika ingin tetap terus berkembang dengan baik.
Masalahnya saat ini, institusi koperasi atau Credit Union itu tentu akan sulit berkembang di wilayah atau negara yang beragama mayoritas muslim dan bersuku Jawa jika tidak ditemukan modalitas spiritualnya dari umat Islam dan orang Jawa di institusi koperasi kredit atau Credit Union. Bagaimana strateginya agar orang Islam dan Jawa yang mayoritas itu dapat tertarik dan bergabung di CU juga musti jadi strategi CU agar tidak masuk dalam posisi “stunting”. Ini harus menjadi kajian sosial kebudayaan yang serius.
Koperasi pada umumnya atau Credit Union adalah suara kemanusiaan. Berkembang dan diterima di seluruh pelosok dunia sebagai suara kemanusiaan. Koperasi dari sejak awal bukan hanya deklarasikan diri sebagai organisasi kesetaraan manusia, namun juga perjuangkan nilai keadilan dan perdamaian. Tidak beda bedakan suku, agama, ras, golongan ataupun status sosial apapun.
Kita paham, koperasi kita memang perkembanganya di Indonesia bukan hanya dipengaruhi masalah internal, namun jika secara internal kuat maka masalah eksternalitasnya tentu akan dapat ditanggulanggi dengan baik.
Kita tahu, sistem kapitalisme yang tempatkan kuasa modal lebih tinggi dari manusia, telah mendorong masyarakat pada penghambaan pada kekayaan, kekuasaan serta pada pengejaran hal hal yang melulu materialistik dan membesarkan hedonisme. Tapi koperasi dari sejak kelahiran awalnya memang untuk melawan itu semua bukan?
Jakarta, 14 Maret 2023
SUROTO
Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)
Suroto