Catatan Egy Massadiah
Govnews-idn.com – Di bibir sungai Ciliwung, Cijantung Jakarta Timur, Minggu pagi 25 Agustus 2024 dua jenderal duduk bersama. Mereka adalah Letnan Jenderal TNI Mohamad Hasan dan Mayor Jenderal TNI Rafael Granada Baay. Dua jenderal yang sama-sama memegang tongkat panglima.
Hasan baru saja sertijab jabatan pangkostrad dari seniornya Letnan Jenderal TNI Muhamad Saleh Mustafa, Akmil 1991 yang dipercaya menempati pos sebagai Irjen TNI. Adapun Rafael Panglima Kodam Jaya, bergeser dari Kodam Brawijaya Jawa Timur.
Keduanya adalah pejabat baru di satuan masing-masing. Tidak salah jika momentum pertemuan mereka di tepi Ciliwung menjadi sarat makna dan kenangan. Terutama makna bersyukur memperingati ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia ke-79. Kedua, syukuran atas tugas dan amanah yang baru mereka sandang.
Rangkaian kegiatan itu mereka beri tagline “Membela Alam, Merayakan Tanah Air Menuju Indonesia Maju” dan dipusatkan di Café Red Soldadu Riverside. Café sederhana yang terletak di Jl. Sederhana I No. 4A, Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Jumpa Rafael
Terkait Cafe Soldadu, ini adalah kali kedua saya ngopi di sana. Yang pertama, suatu senja di bulan Maret 2022, saat itu Hasan menjabat Pangdam Iskandar Muda Aceh dan Rafael Direktur H BAIS TNI dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Khusus dengan Rafael, interaksi saya tidak pernah putus. Saat sertijab Dan Grup 2 Solo dari Kolonel Richard Tampubolon ke Kolonel Rafael, saya hadir di Solo sambil menikmati kuliner tengkleng. Selanjutnya Rafael bergeser menjadi Danrindam di Makassar. Pada 2019 saya jumpa kembali dengan dengan pria kelahiran Ternate ini dengan jabatan Danrem 074/Warastratama Solo.
Ketika pandemi Covid melanda awal 2020, kami bersua dalam urusan dinas di bandara Pangkal Pinang, saya sebagai Staf Khusus Kepala BNPB Doni Monardo dan Rafael menjabat Aspotwil Kaskogabwilhan 1 pada tahun 2020.
Cafe “Ciba”
Cafe ini tak jauh dari markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Warga sekitar menyebutnya “Ciba”, Cijantung Bawah. Tak heran, sebab mereka adalah jenderal yang digembleng dalam tempaan tradisi baret merah. Kebetulan, Hasan dan Rafael adalah teman satu angkatan, sama-sama Akmil 93.
Pagi ini, keduanya melempar pandang ke arah sungai Ciliwung di bawah sana. Sejurus kemudian melempar pandang ke arah kibaran bendera merah putih yang membentang menyilang sungai.
Terkenang Doni – Danny
Rasa haru mendalam seperti terkuak kembali, demi menatap Ciliwung. Menatap Baret Merah. Duduk di café tepi Ciliwung. “Rasanya baru kemarin kami bercengkerama di sini dengan…,” tutur Hasan dengan suara dalam.
Memori Hasan dan Rafael tertuju pada dua sosok yang sama: Doni Monardo dan Putu Danny. Dua orang yang begitu lekat dan dekat di hati mereka. Bahkan dihampir sepanjang karier mereka di militer, hingga maut memisahkan.
Letjen TNI Doni Monardo, abituren Akmil 1985, adalah Danjen Kopassus 2014 – 2015. Pada 1998, Doni adalah Danyon 11 Grup 1 Kopassus Serang Banten berpangkat Mayor dan Hasan Komandan Kompi 113 Kalajengking berpangkat Letnan Satu. Hasan masih ingat, perintah tugas pengamanan dari Doni saat kerusuhan Mei 1998. Hasan dan kompinya ditugaskan ke kawasan Universitas Atmajaya Semanggi. Doni sendiri berada sekitar Kelapa Gading Jakarta Utara.
Doni Monardo wafat 3 Desember 2023. “Dari beliau kami mendapat banyak ilmu kepemimpinan, gemblengan keprajuritan dan cinta lingkungan hidup. Semua yang pernah digembleng almarhum, pasti cinta alam, cinta lingkungan. Karena itu, saya dan Rafael sepakat bikin syukuran 17 Agustus di tepi Ciliwung sambil melakukan aksi sosial. Semoga beliau tersenyum di surga,” papar Hasan, mengenang Doni Monardo.
Sedangkan, Mayjen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya adalah teman seangkatan Hasan dan Rafael (1993). “Kami dan almarhum Putu Danny sering ngopi di sini bersama teman-teman lain,” ujar Hasan.
Putu Danny wafat di medan tugas Papua pada 25 April 2021. Dia menjadi perwira Kopassus hampir sepanjang kariernya. Danny kerap memimpin dan berbaur dengan bawahannya di lapangan secara langsung, bukan di pusat komando. Saat wafat, pangkatnya Brigjen. Setelah wafat, dia secara anumerta menjadi mayor jenderal atas jasanya.
Novel Sejarah
Baiklah, sebelum melanjutkan kisah bersih bersih Ciliwung, saya teringat satu novel bertajuk “Di Tepi Kali Bekasi” yang terbit pertama tahun 1951.
Pengarangnya, Pramoedya Ananta Toer. Mengisahkan heroiknya para pejuang yang terhimpun dalam laskar maupun tentara rakyat berlatar belakang Karawang – Bekasi tahun 1945. Isinya, kronika pertempuran melawan Sekutu, demi mempertahankan kemerdekaan. Tak sedikit pejuang yang gugur, baik secara gagah ataupun secara konyol. Tokoh pemuda dalam novel tersebut bernama “Farid”.
Dalam sekuel lain, ada puisi Chairil Anwar berjudul “Karawang – Bekasi”. Kutipannya antara lain: //Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi// tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.//…. Kenang, kenanglah kami// yang tinggal tulang-tulang diliputi debu// Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
Kali Ciliwung dan Kali Bekasi adalah dua sungai bertetangga, sama-sama bermuara di Teluk Jakarta. Hulu Ciliwung ada di Gunung Gede, Bogor. Sementara hulu Kali Bekasi ada di Sirnajaya, Bogor. Fakta, kedua sungai itu pernah sama-sama punya sejarah mengalirkan darah merah pejuang.
Tumpul Hati
Di Kali Bekasi dan Kali Ciliwung, berserak kenangan dan sejarah mulia. Terlalu tumpul hati, jika membiarkan kedua sungai itu bertabur sampah. Hasan dan Rafael pun memaknai syukuran kemerdekaan bangsa Indonesia melalui aksi peduli terhadap alam, di antaranya sungai sebagai simbol peradaban yang harus dijaga kelestariannya.
Hasan, Rafael beserta staf, prajurit, serta elemen masyarakat pecinta alam lain pun melakukan aksi penanaman pohon di bantaran Sungai Ciliwung. Di samping, aksi bersih-bersih sampah yang dilakukan di Ciliwung ruas Cijantung, Kelurahan Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Hajat hari ini, tentu bukan yang pertama kali membersihkan Ciliwung. Ini merupakan kelanjutan, berulang-ulang, sejak mereka masih berpangkat perwira pertama bertugas di Kopassus.
Selain Hasan dan Rafael, hadir pula jajaran teras Kostrad dan Kodam Jaya, termasuk Kasdam Jaya Brigjen TNI Tatang Subarna yang juga Angkatan 93 ditemani Danrem Wijayakarta Brigjen Riyanto SIP.
Koordinator kegiatan lapangan dipimpin Eko Wiwid Arengga dari Perkumpulan RIMBA (Relawan Indonesia Pembela Alam) dibantu warga sekitar Ciliwung. Hadir juga komunitas-komunitas di antaranya Volunteers Gunung Gede Pangrango, Yayasan Konservasi Indonesia, Komunitas Ciliwung Depok, Komunitas Ciliwung Condet, Ciliwung Muara Bersama, Jejak Anak, Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam), Sispala (Siswa Pencinta Alam) dan komunitas lain.
Jembatan Gantung
Menurut Pangdam Jaya Rafael, semua kegiatan adalah simbol yang sarat makna. “Pengibaran bendera merah putih dan doa bersama adalah simbol semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Doa bersama dan pemotongan tumpeng adalah simbol rasa syukur atas kemerdekaan bangsa Indonesia,” katanya.
Pangkostrad Hasan menambahkan, aksi tanam pohon buah-buahan adalah simbol menjaga keseimbangan ekosistem dan ketahanan pangan. Sementara, bersih-bersih sampah sungai adalah simbol menjaga kelestarian air sebagai sumber kehidupan.
Simbol lain adalah bentang jembatan gantung sepanjang 60 meter, sebagai penanda kesinambungan program pelestarian lingkungan, terutama sungai sebagai sumber kehidupan dan sumber peradaban bangsa. Jembatan itu dibangun pada tahun 2023 oleh Kolonel Inf Tri Aji selaku Aster Kasdam Jaya, atas perintah Pangdam Jaya (ketika itu) Mayjen TNI Mohamad Hasan. Saat ini Kolonel Tri Aji adalah Paban Utama 2/Puanter Sterad.
“Rangkaian kegiatan diakhiri ngopi bareng, yakni simbol kebersamaan antara TNI dengan rakyat,” cerita Hasan sambil tertawa.
Rafael menambahkan, bahwa warisan sejarah yang baik harus dilanjutkan. Termasuk warisan “kita jaga alam, alam jaga kita”. “Menjaga alam itu seperti dzikir yang harus dilakukan berulang-ulang, berkali-kali, untuk jangka waktu terus-menerus sepanjang hayat masih dikandung badan,” tegas Rafael yang diiyakan Hasan.
Sekilas RIMBA
Dalam rangka “dzikir lingkungan” itulah, Hasan mendirikan RIMBA (Relawan Indonesia Pembela Alam). “Pembentukan RIMBA adalah jawaban atas kegelisahan para relawan. Saya dirikan hampir bersamaan dengan Program Citarum Harum yang digagas Pak Doni Monardo semasa menjabat Pangdam III/Siliwangi,” jelasnya.
Ketika itu, 2018, Hasan berpangkat Kolonel dan menjabat Danrem 061/Suryakencana. Dia mendirikan RIMBA berbarengan dengan proses revitalisasi Talaga Saat Titik Nol KM Ciliwung, satu program penanggulangan kerusakan lingkungan.
RIMBA berada di Jawa Barat (Bogor, Cianjur, Sukabumi, Depok dan Jakarta). Kehadiran RIMBA di tengah-tengan masyarakat didasari adanya kegelisahan-kegelisahan para relawan dari berbagai latar belakang. RIMBA juga termotivasi oleh semangat bersama untuk pengabdian kepada alam dan kemanusiaan.
Hasan mengisahkan, gagasan membuat RIMBA berawal dari pertemuan para sukarelawan di momentum kegiatan-kegiatan lingkungan hidup. Dari pertemuan-pertemuan itulah tercetus perlu wadah bersama agar terjalin komunikasi dengan baik untuk misi kemanusiaan dan upaya-upaya penyelamatan alam di berbagai tempat.
RIMBA saat ini menjadi komunitas atau organisasi kaderisasi kepemudaan yang mengusung pengabdian kepada bangsa dan negara dalam upaya misi kemanusiaan dan Lingkungan hidup di Indonesia. Oleh teman-teman kemudian Hasan dinobatkan jadi Bapak Pendiri RIMBA.
Program RIMBA selalu berhubungan dengan misi kemanusiaan dan lingkungan hidup. Di antaranya upaya penyelamatan kawasan Gunung Hutan, Hulu Sungai dan Daerah Aliran Sungai, Kampanye Lingkungan, Penguatan Kapasitas Warga, Pendidikan Lingkungan, Kampanye Lingkungan, Reboisasi Lahan Kritis, Mitigasi Bencana dan Penanggulangan Saat Bencana.
Juragan Corner
Sambil menyeruput kopi, Hasan menunjuk satu kamar di lantai atas, di dalam bangunan cafe yang adem. Itulah “Kamar Hasan” yang diberi nama Juragan Corner. Satu ruang berukuran sekitar 3 x 4 meter. Di dindingnya terpajang beberapa foto kenangan. Salah satu tampak foto Hasan dan Rafael dalam waktu dan tempat yang sama, dengan jabatan yang berbeda.
Alkisah Hasan menjabat Komandan Grup A Paspampres. Sementara Rafael menjabat Komandan Grup 2/Kopassus “Kandang Menjangan” Kartasura. Adapun KASAD Jenderal Maruli Simanjuntak juga berada di lokasi yang kala itu menjabat Danrem 074/Warastratama Solo.
“Ketika itu Bapak Presiden persiapan sholat jumat. Saya mengawal, Rafael duduk disamping driver dengan muka/wajah tegang, karena dibelakangnya ada presiden, panglima tni, kasad dan Danjen Kopassus yang mendampingi presiden berkunjung ke Grup 2 Kopassus,” ungkap Hasan sambil tertawa mengisahkan satu foto di halaman markas Grup 2 Kopassus.
Di “Juragan Corner” juga terpajang foto-foto lain yang kelak pasti akan menjadi kenangan bersejarah. Seperti kenangan “Karawang – Bekasi” yang meski jazad para pahlawan terkubur dan tak lagi bisa memekikkan kata “Merdeka”, tetapi jiwa-jiwa mereka tetap bergelora. Semangatnya membara.
Lihatlah. Di Tepi Kali Ciliwung, dua jenderal sedang menulis sejarah. Sejarah tentang spirit pantang menyerah melawan sampah. Menulis sejarah tentang bagaimana menjaga kelestarian sungai sebagai sumber kehidupan dan sumber peradaban bangsa.
MERDEKA !!!
Penulis adalah jurnalis senior, pegiat teater dan konsultan media
Pangdam Jaya Mayjen TNI Rafael Granada Baay (kiri) dan Pangkostrad Letjen TNI Mohamad Hasan. Foto: Egy M.
Artikel ini sudah terbit di jurnal-idn.com