Oleh: Suroto
CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
JAKARTA, govnews-idn.com – Di dalam koperasi, dikenal istilah pelayanan kepada anggota. Kenapa disebut pelayanan karena memang orientasi koperasi untuk melayani dan memberikan nilai manfaat (benefit oriented) bagi semua pihak yang terlibat di perusahaan koperasi. Bukan untuk tujuan mengejar keuntungan (profit oriented) guna penanam modal semata sebagaimana yang terjadi di korporat kapitalis.
Istimewa lagi, bagi anggota koperasi, pada diri mereka juga melekat status sebagai pemilik perusahaan. Sehingga dalam konteks pelayanannya, mereka tidak dapat hanya perlu diperlakukan seperti pembeli, konsumen, pelanggan/nasabah, atau bahkan klien seperti dalam korporat kapitalis. Anggota bagi koperasi sudah ditempatkan sebagai beyond atau melampaui makna pelanggan/nasabah atau klien sekalipun.
Anggota koperasi yang berarti juga pemilik perusahaan itu adalah orang yang sangat istimewa. Mereka sebagai pemilik koperasi memiliki kuasa yang besar terhadap perusahaan. Mereka adalah orang yang menentukan nasib perusahaan dan memiliki otoritas mengangkat dan memecat seluruh perangkat organisasi seperti pengurus, pengawas, manajer dan seluruh staf perusahaan. Jadi, ketika memberikan layanan kepada mereka, semua perangkat organisasi harus menunjukkan sikap dan perilaku sedang menghadapi pemilik perusahaan.
Dalam istilah keseharian bisnis, kita sering mendengar istilah yang berbeda dari orang yang membeli produk di korporat kapitalis. Ada istilah pembeli, konsumen, pelanggan, klien. Dari istilah itu sesungguhnya semuanya adalah sama, mereka adalah hanya orang yang dijadikan obyek untuk membeli produk, baik itu berupa barang maupun jasa yang disediakan penjual.
Munculnya istilah-istilah dalam korporat kapitalis sebetulnya memiliki perspektif yang berbeda-beda dan masing-masing memiliki tingkat kedalaman layananya. Pengertian dari masing-masing kata itu juga dipengaruhi oleh orientasi dari penjual terhadap pembelinya, pada tingkat apa mereka meletakkan prioritas dari pembelinya.
Dalam peristilahan dan orientasi pelayanannya, istilah pembeli dapat dikatakan dalam posisi kasta paling rendah. Pembeli itu hanya orang yang membayar produk. Tidak dikenal dan tidak mendapat perhatian yang lebih. Contoh paling nyata adalah pembeli barang ketika melintas dalam perjalanan, atau beli barang di pasar tradisional yang dilakukan secara berpindah-pindah toko dan tidak terus-menerus di satu tempat. Inilah yang disebut pembeli, buyer atau orang yang membayar produk.
Tingkatan selanjutnya adalah konsumen. Mereka yang disebut konsumen adalah orang yang membeli barang atau jasa namun sudah mulai berulang atau melakukan repetisi. Seperti misalnya ketika belanja di satu toko dan beberapa kali sudah datang ke toko tersebut. Mungkin karena dekat, atau harganya lebih kompetitif dan lain sebagainya. Dalam perspektif layananya juga hanya dianggap orang yang sudah sering membeli.
Menyukai Pelayanannya
Disebut pelanggan/nasabah kalau sudah merepetisi pembelian barang atau jasa. Biasanya karena merasa puas dengan pelayanan atau produk/jasa yang dilayankan. Pelanggan ini datang terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama karena mungkin dipengaruhi faktor keunikan tempat, menyukai pelayanananya, harga yang kompetitif dan lain-lain yang intinya membuat mereka nyaman membelanjakan uangnya.
Ketiga adalah Klien. Ini adalah pelanggan juga. Tapi biasanya seorang klien itu sudah meminta pelayanan dari pemilik produk atau layanan secara lebih individual, spesifik dan bahkan mungkin sangat intim. Biasanya seseorang disebut sebagai klien jika dapat perlakuan istimewa atau jadi prioritas. Hal ini dapat kita lihat dari pelanggan jasa dokter atau konsultan hukum atau pelanggan yang sudah sangat sering dan lama.
Di tengah kompetisi pasar yang semakin tinggi saat ini, orientasi pelayanan kepada mereka yang membeli produk diperlakukan sebagai lebih dari sekedar pelanggan. Mereka diperlakukan semua seperti klien. Siapapun yang datang sebisa mungkin diberikan prioritas yang tinggi. Termasuk kepada mereka yang baru pertama kali membeli. Dengan demikian mereka merasa nyaman dan akan terus membeli barang atau jasa yang diberikan perusahaan.
Namun demikian, dalam perspektif yang seistimewa apapun, baik itu pelanggan/nasabah atau klien, dalam sistem korporat kapitalis tetap saja, mereka hanya ditempatkan sebagai obyek bagi perusahaan. Untuk tujuan mengejar keuntungan bagi investor perusahaan.
Dalam terminologi koperasi, istilah pelanggan, atau klien itu sudah terlampaui. Sudah beyond atau post pelanggan/nasabah atau klien. Untuk itu mungkin diperlukan semacam peristilahan lain dari sekedar anggota. Sebab anggota dalam konotasi yang sering dimaknai di Indonesia justru dianggap sebagai pihak yang paling lemah di suatu organisasi. Hal ini terbersit dari kata yang sering muncul dari seorang anggota organisasi dengan kalimat “saya hanya anggota”.
Usulan saya, baiknya istilah anggota itu diganti menjadi Pemilik atau istilah lainnya yang memungkinkan untuk merombak persepsi yang ada. Tujuanya adalah untuk menggugah sikap mental pelayanan agar lebih baik dari seluruh perangkat organisasi koperasi kepada anggotanya atau juga menjadi bermakna untuk menimbulkan rasa tanggungjawab anggota menjadi lebih besar terhadap koperasi miliknya. Istilah ini penting, seperti halnya istilah Divvy yang bedakan dengan devidend atau keuntungan dalam perusahaan kapitalis. Lebih dari itu, hal ini juga merupakan keunggulan dari koperasi dibandingkan dengan korporat kapiralis. *
Jakarta, 19 April 2024
Suroto
Artikel ini sudah terbit di jurnal-ina.com